Jumat, 09 Maret 2012

PEMBELAJARAN DENGAN TRAINING MODEL DI SMK


A.   PENDAHULUAN
Sekolah Pertanian Pembangunan  sebagai salah satu sekolah kejuruan bidang pertanian menitik beratkan kurikulumnya pada pembelajaran ketrampilan.  Apapun jenis kurikulum yang pernah diterapkan di SPP, pembelajaran ketrampilan selalu ada di SPP.
Salah satu model pembelajaran yang sesuai untuk mengajarkan ketrampilan adalah model pelatihan (Training Model).  Training model bukanlah model pembelajaran baru, yang bahkan mungkin sudah diterapkan sebagian atau seluruhnya oleh para guru SPP.  Tetapi mungkin penerapan itu tanpa pengetahuan tentang teori teori yang mendukung model itu dan hanya diajarkan karena “ begitulah dulu guru itu diajar”.
Tidak banyak tulisan baru tentang model pembelajaran ini.  Mungkin karena telah banyak model pembelajaran baru yang dianggap efektif untuk diterapkan.  Tetapi training model masih menjadi model yang banyak digunakan, terutama oleh para pelatih dan guru olah raga, instruktur pada kursus ketrampilan,widya iswara pada pelatihan teknis dan lain lain.
 Gambar salah satu kegiatan praktek di SPP Pelaihari
B.   DUKUNGAN TEORITIS
Training model adalah salah satu model pembelajaran yang didasari pemikiran behavioristik.  Dalam training model, observasi dan latihan adalah alat untuk  mencapai perilaku baru dan mengeliminasi yang sudah ada.  Kontrol stimulus dan feed back juga selalu ada dalam pembelajaran model ini.
Stimulus adalah berbagai kondisi, kejadian atau perubahan di  lingkungan seseorang yang menyebabkan perubahan pada diri seseorang.  Stimulus bisa verbal (lisan dan tertulis) atau fisik.
Bagian pokok atau inti dari training model adalah logika dan teknik teknik yang bisa mengeliminasi perilaku dengan cepat.  Oleh karena itu hampir tidak mungkin kalau guru tidak menggunakan cara yang sistematis pada saat aplikasi model ini.
Menurut Gagne (1982), kondisi eksternal untuk pembelajaran ketrampilan (motor skill) adalah dengan instruksi verbal, gambar, demonstrasi, praktek dan umpan balik. Sifat umpan balik berbeda tergantung pada proses belajar yang dilakukan. Sedangkan menurut toeri Anderson dalam Dahar (1988), urut urutan aksi dipelajari dengan cara: Mula mula si pelajar menyajikan suatu urutan aksi aksi dalam bentuk deklaratif . Lalu berkembang suatu penyajian procedural dari urutan aksi dengan pengalaman dalam mencoba menghasilkan urutan aksi.

C.   TRAINING MODEL: DESAIN, DEMONSTRASI, PRAKTEK / LATIHAN DAN UMPAN BALIK
1.      Orientasi Model
Pada akhir tahun 1950an empat aliran pemikiran bergabung untuk menemukan pendekatan penyelesaian permasalahan pengorganisasian pendidikan dan pelatihan.  Keempat cabang pemikiran itu adalah psikologi pelatihan (training psychology), psikologi sibernetika (cybernetic psychology), analisis sistem (systems analysis) dan psikologi tingkah laku (behavioral psychology).
Psikologi pelatihan menekankan pada analisis tugas dan desain hubungan komponen komponen pelatihan; psikologi sibernetika focus pada dinamika umpan balik dan self regulation, pengembangan system menekankan pada analisa terhadap system dan behavioris menekankan pada demonstrasi dan prakteknya.
Psikologi Pelatihan.  Cabang pemikiran pertama yang merupakan hasil riset tentang situasi pelatihan yang kompleks yang dikembangkan sebagai reaksi atas sedikitnya teori tentang itu. Psikologi pelatihan focus pada aktivitas dimana orang menampilkan fungsi fungsi yang perlu dikerjakan dengan ketepatan tinggi dan unujuk kerjanya harus benar benar tepat karena menentukan keselamatan diri sendiri maupun tim.  Banyak pelatihan dikembangkan dalam merespon kebutuhan kemiliteran seperti pelatihan untuk anggota kru penyelam atau bomber.  Waktu pelatihan untuk ketrampilan ini biasanya singkat dan sangat memerlukan koordinasi tingkat tinggi antar anggota.  Kesalahan salah satu anggota bisa membahayakan diri sendiri, anggota yang lain atau bahkan bisa menyebabkan gagalnya suatu operasi militer.
Para psikolog menemukan bahwa diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks daripada stimulus-respon-reinforcement untuk pelatihan yang komplek semacam itu. Maka lahirlah satu cabang psikologi yang kemudian disebut psikologi pelatihan.
Psikologi pelatihan berkonsentrasi pada pengkonsepan tujuan dan hal yang harus dilakukan (tugas) saat unjuk kerja, memerinci tugas tugas menjadi komponen komponennya, mengembangkan komponen komponen pelatihan untuk memastikan tercapainya masing masing sub komponen dan mengatur keseluruhan situasi pembelajaran menjadi suatu urutan yang memastikan akan adanya transfer dari suatu komponen ke komponen lain dan bahwa pembelajaran yang menjadi prasyarat akan dicapai sebelum pembelajaran yang lebih sulit.  Seperti psikologi tingkah laku, psikologi pelatihan juga menaruh perhatiannya pada perincian dan pengurutan/perangkaian tingkah laku dan juga membentuk perilaku untuk prestasi atau unjuk kerja terbaik.  Psikologi pelatihan juga mementingkan reinforcement dan umpan balik tetapi kontribusi utamanya adalah pada desain pembelajaran.
Psikologi sibernetika.  Adalah cabang pemikiran yang dikembangkan selama perang dunia kedua dan sangat dekat dengan riset pelatihan yang bisa juga dianggap sebagai cabangnya, yang didasarkan pada konseptualisasi manusia secara teknis.  Manusia seperti mesin elektronik, system sibernetika, yang menggunakan proses sensory terhadap umpan balik untuk mengontrol dan memodifikasi tingkah lakunya sendiri.
Ahli psikologi sibernetika sering kali menggunakan peralatan sebagai simulator untuk mempelajari tingkah laku manusia dan sebagai bagian dari system pelatihan.
Karena manusia dipahami sebagai “system yang bisa mengoreksi diri sendiri”, maka manusia memerlukan informasi tentang kemampuannya.  Informasi diperlukan bukan hanya tentang hasil tetapi juga sampai dimana level kecakapannya. Desainer pembelajarannya (pelatih) ingi memberikan umpan balik secepatnya dan  agar peserta bisa mengetahui letak kesalahannya. Umpan balik yang tidak akurat atau menyesatkan  dapat membuat hasilnya buruk. Dan umpan balik yang segera diberikan dianggap lebih efektif dibandingkan yang tidak langsung.
Desain system.  Cabang pemikiran ketiga yang sangat dekat dengan psikologi pelatihan dan psikologi sibernetika adalah pengembangan system. Makin bertambahnya ahli psikologi perencana pelatihan, kemiliteran, perindustrian dan pendidikan dan desainer peralatannya menimbulkan kesadaran bahwa setiap tingkah laku orang  menjalankan salah satu bagian system yang terorganisasi.
Sistem ini tidak hanya terdiri dari manusia ‘yang bertingkah laku’ tetapi juga sebagai bagian dari system organisasi, bersama dengan mesin dan system komunikasi membentuk organisasi, cara cara personel disebarkan dan jenis jenis pelatihan yang digunakan. Desainer sekarang enggan mengembangkan peralatan tanpa mengkonseptualisasikannya sebagai bagian dari system manusia-mesin - melihat bagaimana kecocokan dengan mesin yang lain, dengan manusia sebagai operatornya dan dengan komunikasinya.
Dengan pikiran yang sehat, desainer merencanakan untuk membuat mesin yang bisa dioperasikan oleh banyak orang.  Pendekatan system membuat desain dengan melihat semua komponen, memadukan sumber yang tersedia dengan kebutuhan.
Intisari dari analisis system adalah membuat model yang menggambarkan keseluruhan organisasi. Dalam perencanaan system yang pertama dibuat adalah indentifikasi system secara keseluruhan, sub system dan fungsinya, kemudian menyusun detail system, termasuk spesifikasi jenis manusia-mesin tertentu untuk bisa berfungsi dalam system yang lebih besar..
Sebagai contoh , pelajar yang mencoba melewati ujian kecakapan sekolah menengah yang mengindikasikan kompetensi “kecapakan dasar” , saat staf administrasi dan guru memberikan soal sesuai kenyataan dilapangan sering kali siswa tidak mampu, mereka tidak mampu membaca peta jalan raya, mengisi form pajak, atau membuat perencanaan transportasi menggunakan jadwal penerbangan pesawat.  Jika situasi pembelajaran bersifat khas seharusnya digabungkan antara prinsip prinsip psikologi pelatihan dan desain system dalam perencanaannya, permasalahan transfer tidak akan menjadi besar.  Kebanyakan pendidik (para guru, penyusun kurikulum, penulis buku) berpikir tentang pemerolehan materi pelajaran daripada tugas tugas fungsional dan hasilnya terlihat dengan rendahnya hasil ujian kompetensi.
Psikologi tingkah laku.  Cabang pemikiran keempat yang meneliti permasalahan pada pelatihan adalah teknik teknik modeling psikologi tingkah laku.  Ciri ciri penting modeling adalah peserta pelatihan  menampilkan demonstrasi baik secara langsung atau simbolis satu tingkah laku baru dan prakteknya dengan petunjuk dari instruktur. Meskipun penelitian menunjukkan bahwa observasi sangat berguna untuk mengembangkan tingkah laku baru, yang paling efektif adalah modeling (demonstrasi) dengan informasi dan praktek.
Modelling biasa digunakan  untuk mempermudah pembentukan tingkah laku ,  mengurangi ketakutan dan kegelisahan, juga bisa untuk melatih tingkah laku baru seperti pengembangan bahasa dan kecakapan kecakapan psikomotor.  Penarikan diri, isolasi dan tingkah laku hiperagresive juga menggunakan modeling untuk terapinya.
Prosedur yang dihubungkan dengan modeling didasarkan pada prinsip prinsip dari teori behavior seperti reinforcement dan  perkiraan berturut turut.  Rimm dan Masters mengidentifikasi empat factor yang efektif dalam modeling yaitu: 1) Peserta mengobservasi ada tidaknya yang konsekuensi menakutkan. 2) Mereka memperoleh pengetahuan teknis dan informasi selama demonstrasi. 3) Kecakapan kecakapan itu diperbaiki selama fase latihan. Pada fase ini kegelisahan atau ketakutan berkurang dan kepercayaan diri meningkat. 4) Dukungan dari instruktur membantu peserta.
Modeling adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi tingkah laku pada saat memberikan perlakuan (treatment) pada masalah masalah tingkah laku seperti ketakutan atau fobia.  Juga terbukti berhasil untuk terapi pengembangan kemampuan bicara dan tingkah laku social pada anak autis.  Terbukti, bidang bidang lain menggunakan prosedur demonstrasi dan praktek selama bertahun tahun dalam pelatihan, tetapi sedikit yang  melakukan  seempiris dan sepenuhnya seperti behavioris (penganut aliran behavioristik).
2.      Tujuan dan asumsi
Meskipun empat bidang yang dibahas diatas memiliki spesifikasi tetapi keempatnya memiliki filosofi umum yang sama. Keempatnya terutama menaruh perhatian pada tujuan pelatihan dan desain pelatihan daripada aspek filosofis konsepsi psikologis manusia atau masyarakat.  Ahli psikologi sibernetika, psikologi tingkah laku, psikologi pelatihan dan desain system bekerja untuk mempelajari desain pelatihan dan tingkah laku manusia saat pelatihan.  Mereka menanyakan, Apakah tujuan yang hendak dicapai? Sifat dasar dari program pelatihan adalah berasal dari analisa tujuan dan usaha membuat kondisi pelatihan yang akan membentuk ‘ketrampilan’ peserta menjadi seperti yang diinginkan.
Kelompok desainer pembelajaran ini umumnya ingin memecahkan masalah masalah pelatihan yang luas cakupannya mulai dari kecakapan psikomotor, kecakapan memecahkan masalah yang kompleks dan bahkan kadang  terapi dan pelatihan interpersonal .  Oleh karena itu model modelnya diaplikasikan secara luas pada pendidikan dan pelatihan.
3.      Sintaks (urutan kegiatan)
Model Pengajaran Training  menurut Joyce dan Weil (1980) memiliki lima fase yaitu klarifikasi tujuan, penjelasan teori, demonstrasi unjuk kerja yang benar, praktek simulasi dengan feed dan transfer training.
Fase pertama klarifikasi, dimulai dengan pernyataan tujuan, hal ini penting karena tujuan harus spesifik dan jelas dipahami siswa. Fase kedua, penjelasan teori, setelah tujuan disampaikan maka dibutuhkan penjelasan teoritis tentang mengapa tujuan itu diperlukan dan unjuk kerja apa yang harus dicapai. Fase ketiga demonstrasi, pada fase ini ditunjukkan gambaran , model tingkah laku , film, video atau demonstrasi secara langsung unjuk kerja yang tepat.  Fase keempat praktek simulasi, siswa atau peserta training akan mengerjakan tugas dari tiap tiap elemen prosedur dan diberikan feedback sebagai control ketepatan unjuk kerja yang ditampilkan.  Fase kelima, transfer pada kondisi yang sesungguhnya.  Pada awalnya transfer diawali dengan control dari guru atau pelatih tetapi kemudian siswa atau peserta akan mengoreksi tindaknnya sendiri dan secara bertahap kecakapannya meningkat.
4.      Sistem social
Para pebelajar memiliki pilihan yang berbeda dalam pelatihan. Ada yang menyukai dikontrol dan ada yang tidak.  Pebelajar yang tidak suka dikontrol akan sulit belajar apabila pelatih terlalu mengontrolnya. Mereka memerlukan otonomi yang lebih besar untuk menyelesaikan tugasnya dan akan memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri. Tetapi pebelajar yang lain mungkin memerlukan umpan balik dari luar untuk bisa belajar. Sistem sosial yang optimal untuk aplikasi training model   memadukan  tujuan dan pola pelatihan yang cocok untuk bermacam macam tipe pebelajar.
5.      Prinsip prinsip reaksi
Pelatih, guru atau tutor menggunakan training model memberikan umpan balik sesuai tingkat kemampuan peserta. Baik pelatih maupun “system analisis tingkat kemampuan peserta pelatihan”  memberikan umpan balik tentang rangkaian pembelajaran yang harus dilakukan hingga benar benar mampu.  Hal yang sangat penting adalah bahwa umpan balik yang diberikan cukup akurat, lengkap dan detail untuk peserta pelatihan memahami kemampuannya. Idealnya pelatih atau system memberikan cara bagi peserta untuk mengoreksi dirinya sendiri. Prinsip prinsip ini mengacu pada teori bahwa manusia merupakan system yang mampu mengoreksi informasi bagi dirinya sendiri, jika diberika umpan balik tentang sifat  dan akibat unjuk kerjanya, mereka akan mengoreksi dirinya sendiri.
6.      Sistem pendukung
Guru atau pelatih yang baik, bekerja sendiri, dapat menyediakan berbagai unsure yang diperlukan untuk system pelatihan secara sederhana dengan memberikan “arena (kesempatan)” untuk latihan kecakapan yang sedang diajarkan. Misalnya guru bahasa Inggris mengajarkan bahwa untuk penyusunan essay diperlukan  pensil, kertas dan siswa yang aktif. Peralatan peralatan teknis berguna khususnya untuk kecakapan psikomotor yang kompleks yang banyak dibidang atletik. Pelatih sepakbola menggunakan film,  rintangan, simulasi sesudah gol secara bersama yang mirip kondisi permainan yang sebenarnya   dan melatih dengan menekankan satu kecakapan saja  pada satu waktu.  Semua itu berguna.  Camp  tenis menyediakan berbagai film pendek yang mendemonstrasikan pemain dalam kondisi yang bervariasi.
7.      Aplikasi
Training Model bisa diaplikasikan untuk berbagai permasalahan pendidikan.  Banyak guru menggunakan untuk ketrampilan dasar membaca dan menulis.  Disamping itu juga untuk membantu dalam permasalahan perilaku social dan menghilangkan rasa takut. Guru olah raga dan pelatih kursus mengemudi adalah orang orang yang paling sering menggunakan model ini. Aspek dari model ini kebanyakan berdasarkan intuisi- saat kita bekerja dengan peserta pelatihan, kita melakukan demonstrasi dan kemudian memberi petunjuk saat mereka berlatih. Untuk tingkah laku (ketrampilan) yang sederhana, yang diperlukan hanya demonstrasi dan pemberian petunjuk saat latihan.  Tantangan untuk pendidik ketrampilan yang lebih kompleks tergantung pada konseptualisasi yang masuk akal dan definisi tugas, pengurutan yang teliti dan demonstrasi yang diikuti dengan pemberian petunjuk saat latihan, pertama dibawah kondisi simulasi untuk memastikan tercapainya kemampuan komponen komponen kecakapan dan integrasi kecakapan kecakapan itu menjadi satu kesatuan yang coherent.
Training model bisa menggunakan mediasi instruktur ataupun dengan mediasi bahan lain. Bahan ini didesain sesuai dengan prinsip prinsip desain pembelajaran ( yaitu, konseptualisasi kemampuan akhir yang diharapkan, memerincinya menjadi komponen komponen tugas dan menyusunnya menjadi rangkaian tindakan untuk mencapai kelulusan, memperjelas pelatihan dengan informasi  tugas dan sub sub tugas dan memberikan informasi saat demonstrasi, petunjuk saat latihan, umpan balik dan reinforcement.)  
Pembelajaran ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja kadang dibutuhkan pemikiran yang melebihi kemampuan guru. Tetapi apabila guru benar benar menguasai ketrampilan itu dengan baik tidak sulit untuk membuat analisis tugas dan membuat urutannya.  Hunziker mengembangkan langkah langkah pelatihan berenang untuk orang yang takut air.

D.   PENERAPAN TRAINING MODEL UNTUK PEMBELAJARAN PASCA PANEN
Jika dilihat dari pembahasan teori training model, maka banyak sekali proses pembelajaran di SPP yang menggunakan model pembelajaran ini.  Saat guru reproduksi ternak mengajarkan Inseminasi Buatan, atau saat guru makanan ternak mengajarkan pembuatan silase atau siapa saja yang mengajarkan ketrampilan biasa menggunakan model pembelajaran ini.
Guru menjelaskan tujuan, kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan teori  tentang materi yang diajarkan. Setelah itu guru mendemonstrasikan langkah langkah yang  benar. Kemudian siswa akan mencoba mempraktekkannya, baik dalam simulasi maupun langsung dalam kondisi nyata. Pada saat siswa praktek, guru mengoreksi tindakan siswa yang tidak sesuai prosedur yang benar (memberikan umpan balik).
Biasanya simulasi dilakukan apabila latihan dengan kondisi nyata tidak memungkinkan.  Alasannya bisa bervariasi, dari tingkat resiko hingga factor biaya.
Dibawah ini dua contoh pembelajaran yang menggunakan training model dengan metode yang disesuaikan dengan karakteristik materi ketrampilan.
Contoh ketrampilan 1:
Mata Pelajaran            : Teknologi Pasca Panen semester 3
Standar kompetensi    : Pengolahan Daging
Kompetensi Dasar       : Pembuatan chicken nugget
Langkah langkah
Tahap persiapan guru sebelum jam belajar. Sama dengan penggunaan model lain, pada penggunaan metode training model guru lebih memilih media yang akan digunakan.  Untuk ketrampilan pasca panen, media video dan sekaligus alat dan bahan aslinya, merupakan alternative yang bisa dipilih. Untuk pembuatan chicken nugget, guru menyiapkan alat dan bahan berupa daging ayam yang sudah digiling, tepung roti, keju atau bisa diganti tepung tapioca, telur, bawang putih lada, penyedap, plastic packing, plastic lembaran. Jumlah keperluan bahan disesuaikan dengan jumlah kelompok  dalam kelas. Peralatan berupa freezer, kompor, penggiling bumbu, pengocok telur, baskom, dandang pengukus, cetakan, pisau, disediakan sesuai keperluan kelompok dan jumlah bahan yang tersedia (sesuai anggaran).
Guru menentukan anggota kelompok (2-3 orang). Pembatasan anggota memungkinkan siswa untuk bekerja sama tanpa mengurangi kesempatan belajarnya (time on task).
Tahap tahap selama pembelajaran
1.      Guru menjelaskan tujuan pembuatan chicken nugget
2.      Guru menjelaskan mengapa siswa belajar membuat chicken nugget
3.      Guru mendemonstrasikan pembuatan chicken nugget dengan:
·         Menggunakan video pembelajaran. Merupakan aternatif pertama karena meskipun pembuatan awalnya memerlukan waktu dan biaya, tetapi sekali dibuat bisa digunakan berulang kali. Untuk mengajar  langkah demi langkah suatu proses, guru dapat  menunjukkan dengan waktu yang sesungguhnya, tetapi dengan media  proses bisa dipercepat atau diperlambat. Dalam hal ini, proses dipercepat untuk menghemat waktu.
·         Atau menyiapkan bahan bahan, bahan setengah jadi dan nugget yang sudah jadi. Guru menunjukkan bahan yang diperlukan. Kemudian guru menunjukkan langkah langkahnya dengan praktek. Karena proses pembuatannya cukup lama, maka guru lebih dahulu menyiapkan bahan setengah jadi dan bahan jadi untuk mempersingkat waktu. Siswa mengamati tindakan guru.
4.      Siswa mempraktekkan pembuatan chicken nugget dengan bimbingan guru (feed back). Pemberian umpan balik untuk prosedur yang merupakan urutan aksi, hendaknya menunjukkan secara tepat dalam hal aplikasi itu tidak betul  atau secara tepat bagaimana cepatnya suatu prosedur yang betul diterapkan (Dahar, 1988).
Guru bisa menggabungkan langkah ketiga dan keempat. Guru mempraktekkan langkah pertama. Siswa langsung mengikuti. Setelah langkah pertama diselesaikan siswa, guru melanjutkan ke langkah kedua, dan seterusnya sampai selesai.
Untuk ketrampilan ini bisa tanpa penggunaan langkah simulasi.  Pertimbangannya adalah bahwa ketrampilan ini tidak beresiko dan pengadaan bahan bahannya mudah.
Pembelajaran pembuatan chicken nugget sampai pada tahap trampil untuk melaksanakan prosedur, cocok menggunakan traning model.  Tetapi untuk selanjutnya dimana siswa dikembangkan kreativitasnya dengan membuat variasi chicken nugget, model ini tidak sesuai. Pembelajaran bisa dikembangkan dengan model lain yang memungkinkan siswa membuat pilihan subtitusi bahan untuk pengembangan produk. Misalnya siswa bisa dilibatkan dalam diskusi untuk menentukan : bahan apa yang paling sesuai untuk subtitusi salah satu bahan chicken nugget, mencari alasan mengapa bahan tersebut dipilih, siapa kira kira calon konsumennya, atau seberapa pengaruhnya terhadap biaya produksi.
Sebagai assessment yang terbaik dilakukan dengan uji kompetensi. Siswa melakukan pembuatan chicken nugget dengan penilaian mulai dari langkah kerja dan komposisi penggunaan bahan yang sesuai dengan saat pembelajaran dilakukan
E.   PENYERTAAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PELAJARAN TEKNOLOGI PASCA PANEN
Menurut Gage dalam Dahar (1988), belajar  dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Untuk mengukur belajar, kita membandingkan cara organisme itu berperilaku pada waktu 1 dengan cara organism itu berperilaku pada waktu 2 dalam suasana yang serupa.
Strategi pembelajaran karakter pada dasarnya adalah merupakan cara, pola, metode, atau upaya yang dilakukan oleh pendidik dengan memberi kemudahan kemudahan agar peserta didik mudah belajar, dan dalam konteks pembelajaran karakter, pemberian kemudahan tersebut dalam kerangka untuk mengembangkan karakter baik atau agar peserta didik dapat mengembangkan karakter baiknya sendiri (Akbar, 2011).
Salah satu metode yang bisa digunakan adalah metode Diskusi Dilema Moral.  Metode ini memanfaatkan bahan diskusi yang berupa cerita atau isu isu yang dilematis.  Dengan mencermati tanggapan peserta didik tersebut seorang guru dapat menempatkan posisi pandangan peserta didik tersebut kedalam tahapan perkembangan moral.  Kemudian siswa dilibatkan pada diskusi berikutnya untuk mencapai tahapan perkembangan moral yang lebih tinggi.
Pembelajaran Teknologi Pasca Panen bisa digunakan untuk mengajarkan karakter menyukai kebersihan dan perilaku bertanggung jawab sebagai seorang produsen makanan.  Misalnya, memberikan video tentang proses pembuatan makanan ( seperti bakso) yang tidak higienis atau yang ‘jorok’ atau pemberian bahan tambahan yang berbahaya. Proses itu memberikan keuntungan yang besar buat tokoh dalam video.  Sementara itu, tokoh digambarkan sebagai seorang yang berada dalam masalah keuangan yang pelik, seperti tidak punya uang dan salah satu anggota keluarganya sakit keras dan tidak ada yang mau membantu.  Siswa diminta memberikan komentar tentang video tersebut. Bagaimana tanggapan mereka sebagai konsumen? Bagaimana tanggapan mereka jika menjadi produsen.
Siswa SPP sudah mampu memberi penilaian terhadap suatu peristiwa.  Maka kemudian guru membawa siswa untuk melakukan refleksi : Jika mereka tidak menginginkan menjadi konsumen yang dirugikan, maka pada saat menjadi produsen, mereka tidak boleh merugikan konsumen.
Siswa juga dibiasakan untuk selalu membersihkan peralatan yang mereka pakai dan tempat praktek mereka setelah praktikum selesai.  Tidak boleh ditunda. Berikan pengertian bahwa bahan pangan akan mengalami proses kerusakan, baik secara cepat maupun lambat.  Kerusakan itu membuat sesuatu yang hari ini bernama makanan besok bisa bernama sampah. 

F.    KESIMPULAN
Traning model merupakan model pembelajaran yang bisa diterapkan untuk berbagai materi ketrampilan motorik di SPP.  Penggunaan traning model lebih efisien untuk  pembelajaran sampai tahap trampil. Untuk tahap yang menuntut pengembangan kreativitas, maka guru sebaiknya menggunakan model lain.
Guru bisa saja menyertakan pembentukan karakter siswa dalam pengajaran dengan training model. Karakter yang diajarkan bisa dihubungkan dengan materi pelajaran ketrampilan.






DAFTAR RUJUKAN

Akbar, Sa’dun.  2011. Pembelajaran Nilai dan Karakter: Pendekatan dan Strategi Pembelajaran untuk Pengembangan dan Pembinaan karakter. Makalah seminar. Malang

Dahar, R.W.  1988. Teori Teori Belajar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta

Fleming, M. and W. H. Levie. 1978. Instructional Message Design. Principles from the Behavioral Sciences. Educational Technology Publications.  Englewood Cliffs, New Jersey 07632

Tidak ada komentar:

Posting Komentar