Jumat, 20 Januari 2023

Penelitian sederhana (fermentasi batang pisang dan gamal)

 

BAB I PENDAHULUAN

 

Ketersediaan pakan yang kontinyu merupakan masalah yang umum terjadi pada peternakan ruminansia di Indonesia. Produksi hijauan sebagai sumber utama pakan ternak ruminansia sangat tergantung pada musim. Untuk mengatasi masalah tersebut, berbagai penelitian dilakukan guna menemukan bahan bahan yang bisa digunakan sebagai pengganti hijauan.

Salah satu bahan yang banyak tersedia di Kalimantan Selatan adalah limbah batang pisang. Lahan yang ditanami pisang menurut data distantph pada tahun 2013 adalah 3300 ha. Dengan jarak tanam 3 x 3 m, maka dalam 1 ha lahan bisa dibudidayakan 1100 pohon pisang dan dengan berat +/- 20 kg per batang, maka bisa dihasilkan sebanyak 22 ton limbah batang pisang/ha . Jumlah itu cukup untuk sumber pakan kasar utama bagi 3 ekor sapi dengan berat 200 kg (dengan asumsi pakan kasar 10% dari berat badan sapi) sepanjang tahun. Menurut Mastika (2011: 13) pemakaian limbah pertanian dalam ransum ternak akan dapat membantu usaha peternakan yang efisien karena harga ransum akan dapat ditekan dan pendapatan petani dapat ditingkatkan.

Kendala pemanfaatan limbah batang pisang adalah protein yang rendah dan ketersediaannya yang tergantung pada pemanenan buah pisang. Hal ini menyebabkan petani pemilik kebun pisang enggan untuk memanfaatkan batang pisang sebagai bahan pakan ternak.

Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan fermentasi. Proses fermentasi bisa mengubah komposisi kimia limbah dan sekaligus mengawetkan limbah sehingga bisa digunakan kapan saja bila diperlukan. Oleh karena itu, penulis melakukan kajian ilmiah untuk mengetahui bahan  starter yang paling sesuai untuk fermentasi batang pisang.

Namun proses fermentasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kandungan protein bahan, oleh karena itu penulis menggunakan salah satu leguminosa untuk digunakan sebagai campuran silase. Gliricidia sepium digunakan karena merupakan leguminosa ketersediaannya bisa kontinyu namun kurang disukai ternak sapi. Diharapkan proses fermentasi akan membuat aroma daun gamal berkurang dan menjadi lebih disukai oleh ternak

Masalah pada pemanfaatan batang pisang sebagai pengganti hijauan pakan ternak adalah kandungan protein yang rendah dan ketersediaannya yang tergantung pada saat panen buah pisang. Untuk itu perlu dilakukan upaya agar batang pisang bisa dimanfaatkan sebagai pakan melalui proses fermentasi yaitu dengan membuat silase. Proses fermentasi pada pembuatan silase akan lebih cepat terjadi dengan penambahan starter. Dari berbagai bahan yang bisa digunakan sebagai starter silase, bahan manakah paling mendukung proses fermentasi batang pisang dan gamal sehingga menghasilkan silase terbaik?

Dari masalah yang ada, penulis membuat uji terhadap berbagai bahan yang bisa digunakan sebagai stater silase batang pisang dan gamal (bapigam). Ukuran kualitas dilakukan dengan uji organoleptik dan kimia silase yang dihasilkan. Karena keterbatasan waktu dan dana maka pada kajian ini parameter yang diambil hanya warna, aroma, ada tidaknya lendir, ada tidaknya jamur dan kadar protein kasar.  

Kajian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui starter yang paling baik bagi fermentasi batang pisang dan gamal. Manfaat yang diharapkan pada kajian ini adalah:

1.      Bagi penulis, merupakan alat untuk mengembangkan diri sebagai guru

2.      Bagi siswa, dapat membandingkan berbagai starter fermentasi dalam mengolah bahan pakan ternak

3.      Bagi guru agribisnis pakan ternak ruminansia dapat menginspirasi untuk mencoba berbagai bahan dan proses untuk pemanfaatan bahan baku pakan yang rendah nutrisinya

4.       Mendorong para petani untuk memanfaatkan batang pisang sebagai bahan pakan ternak ruminansia

 

 

 

 

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

 

A.    Batang Pisang

Pemanfaatan limbah pertanian merupakan pilihan yang sangat penting dalam usaha pengembangan peternakan di lahan sempit (Mastika, 2011:18). Salah satu tanaman buah yang penting di Kalimantan Selatan adalah pisang. Berdasarkan data dari distan tph tahun 2013, luas lahan yang ditanami pisang di Kalsel adalah 3300 ha. Hal ini karena pisang mampu tumbuh di berbagai macam lokasi dan hanya membutuhkan perawatan sederhana (Rosyidin, 2014: 1). Jarak tanam pohon pisang adalah 3 x 3 m untuk tanah sedang dan 3,3 x 3,3 m untuk tanah berat (Prahasta, 2009: 77) , jadi dalam 1 ha lahan bisa ditanam 900 sampai 1100 batang pohon pisang.

Tanaman pisang yang dibudidayakan secara intensif dengan menerapkan teknologi secara benar dapat memberikan keuntungan yang tinggi dan mampu bersaing dengan budidaya tanaman yang lain ( Cahyono, 2018: 2). Hampir semua bagian pisang dapat dimanfaatkan. Bagian bagian vegetatif berserta buah yang tidak termanfaatkan dapat digunakan sebagai pakan ternak, terutama pada saat pakan ternak dan air sulit diperoleh ( Prahasta, 2009: 2).  Kandungan air batang pisang berkisar 90% (Hartadi, 2005:88). Sedangkan kandungan air terbaik untuk bahan silase berkisar 60-67% (Ensminger, 1992:353) jadi batang pisang harus dilayukan sebelum dibuat silase.

Jika dibandingkan dengan rumput gajah segar, kandungan serat kasar dan dan protein lebih rendah. Komposisi batang pisang dalam bahan kering, menurut Hartadi dkk (2005:88) adalah abu 14%, lemak kasar 2%, serat kasar 24% , BETN 56,1 dan protein kasar 3,9%.  Rendahnya ketersediaan zat-zat makanan yang terkandung dalam limbah merupakan kendala utama pemanfaatannya untuk pakan ternak ( Mastika, 2011: 10).  

 

B.     Gamal (Gliricidia Sepium)

Gamal adalah sejenis perdu dari kerabat polong polongan (suku Fabaceae atau Leguminosa) yang sering digunakan sebagai pagar hidup atau peneduh ( Junaida dkk, 2014: 64). Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1300 dpl (Rukmana, 2005:31). Produksi daun gamal dengan selang waktu pemotongan 3 bulan mencapai 43.000 ton atau 8-11 ton bahan kering per hektar per tahun (Pribadi, 2014).

Daun gamal merupakan sumber protein sehingga cocok sebagai makanan ternak dan suplemen pada hijauan yang berkualitas rendah (Rukmana, 2005: 32). Bagian aerial gamal masa pertumbuhan awal mengandung abu 8,4%, lemak kasar 4%, serat kasar 13,3%, BETN 48,6% dan protein kasar 25,7% (Hartadi dkk, 2005: 80).  Penambahan sumber protein pada ternak yang mendapat pakan berkualitas rendah akan meningkatkan daya cerna dan tingkat konsumsi (Parakasi, 1999:500).

Kelemahan gamal adalah mengandung comarin yang bisa berubah menjadi racun bila berubah menjadi hidroksi coumarin atau dicoumarin (Rianto dan Purbowati, 2010: 110). Menurut Mastika (2011: 116) penggunaan perlakuan kimia atau mikrobiologis, dengan pembuatan silase, merupakan cara yang efektif untuk menghancurkan glukosida, alkaloid dan beberapa jenis mikotoksin.

 

C.    Silase

Silase adalah bahan yang dihasilkan dari fermentasi hijauan berkadar air tinggi, melalui proses yang disebut ensilase dalam tempat yang disebut silo (McDonald, 1981: 9). Proses ensilase diartikan sebagai perubahan yang terjadi saat pakan atau hijauan berkadar air cukup difermentasikan dalam silo tanpa adanya udara (Ensminger et al, 1992:332).

Karakteristik tanaman ideal untuk disimpan sebagai silase adalah cukup tersedia substrat mudah terfermentasi dalam bentuk WSC, buffering capacity (Bc) rendah dan memiliki bahan kering dalam tanaman segar lebih kurang 20% (McDonald, 1981: ). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa tanaman yang tidak memenuhi seluruh persyaratan memerlukan perlakuan seperti, pelayuan, pemotongan dan penggunaan aditif.  Bahan silase biasanya dipotong menjadi potongan kecil sebelum dibuat silase (Cullison, 1987: 241).

Menurut Wilkinson dalam Pond et al (2005: 337),  hijauan dari daerah tropis umumnya mengandung karbohidrat terlarut lebih rendah dari hijauan sub tropis.   

Prinsip ensilase menurut McDonald (1981:11 ), pertama adalah pencapaian kondisi anaerob, karena pada kondisi aerob akan terjadi aktivitas mikrobia aerob sehingga bahan akan berjamur dan menghasilkan zat toksik. Prinsip kedua ialah dengan menekan aktivitas bakteri clostridia yang berkembang dengan cepat sebelum terjadi kondisi anaerob di dalam silo. Proses ensilase ditentukan oleh interaksi tiga faktor : (1) komposisi kimia tanaman, (2) kandungan udara yang ada dalam silo dan (3) aktivitas bakteri yang ada (Ensminger et al. 1992:304). Untuk mencegah berkembangnya Clostridia dalam silase dapat dilakukan dengan 1) penggunaan hijauan yang banyak mengandung karbohidrat larut dalam air, 2) mengurangi kemungkinan proses respirasi, 3) pelayuan, dan  4) penggunaan aditif ( Parakasi, 1999: 631).

Silase bisa dibuat dari berbagai macam tanaman, ada yang ditanam sengaja untuk dibuat silase maupun yang dibuat silase karena ketersediaan yang melimpah (McDonald, 1981: 20). Sisa-sisa pengolahan pangan seperti pengolahan jagung manis, kacang kacangan, umbi umbian maupun sayuran juga bisa dibuat silase( Pond et al, 2005: 337). Jika silase dipotong dan dibuat pada hari yang sama penurunan nutrien dapat diabaikan dan jika pelayuan dilakukan hingga 24 jam penurunan nutrien berkisar 1-2% dari bahan kering (McDonal, et al. 1987: 408).

Silase bisa menjadi pakan utama untuk sapi potong dan sapi perah, terutama bila hijauan tidak tersedia(Cullison, 1987: 245). Silase dapat dibuat dari berbagai jenis hijauan dan limbah pertanian ( Efendi dkk, 2015 : 117). Seringkali dalam pembuatan silase digunakan berbagai campuran bahan agar syarat proses ensilase bisa terpenuhi dan dihasilkan silase yang berkualitas baik (Ensminger, 1992: 347).

Silase sangat disukai oleh ternak terutama pada cuaca yang panas (Cullison, 1987: 245). Menurut Parakassi (1999: 499),di daerah tropis silase lebih baik bagi ternak sapi dibanding hay karena hay akan cepat rusak. Kelebihan silase lainnya yaitu: 1) memungkinkan ternak mengkonsumsi bagian batang hijauan, 2) lebih banyak protein, karbohidrat dan karoten yang bisa diawetkan (Ensminger, 1992:334).

Di banyak negara yang peternakannya maju, silase merupakan pakan kasar utama bagi sapi potong dan perah (Cullison, 1987:244).

Ciri ciri silase yang baik yaitu pH 4,0, kandungan air 60-70%, bau segar, warna hijau masih jelas, tidak berlendir dan tidak tengik (Efendi dkk, 2015 : 119).

 

 D. Starter/ additif

Starter silase bisa diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu stimulan yang berfungsi mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat dan inhibitor yang fungsinya menghambat pertumbuhan mikrobia tertentu (McDonald et al, 1987:413). Penggunaan starter dapat membuat silase yang sudah baik menjadi lebih baik lagi, tetapi tidak akan membuat silase yang buruk menjadi baik (Parakasi, 1999: 633).

Penambahan bijian yang digiling bisa memperbaiki proses fermentasi dan meningkatkan kualitas silase (Cullison, 1987: 243). Bijian dan hasil samping pengolahan bijian akan meningkatkan TDN dan bahan kering jika ditambahkan sebagai starter ( Ensminger, 1992: 351). Tujuan pemberian starter dalam pembuatan silase antara lain, 1) mempercepat pembentukan laktat dan asetat guna mencegah fermentasi berlebihan, 2) mempercepat penurunan pH dan 3) merupakan suplemen untuk zat zat makanan yang defisien dalam hijauan yang digunakan (Parakasi, 1999:633) . Pemberian starter ini dimaksudkan untuk memastikan bakteri asam laktat mendominasi proses fermentasi sehingga silase menjadi baik (McDonald, 1981:129).

Starter yang dipilih dalam penelitian adalah starter yang mudah didapatkan di Pelaihari agar nantinya hasil penelitian bisa diaplikasikan oleh peternak di sekitar sekolah. Gaplek, dedak halus dan jagung giling merupakan bahan yang banyak mengandung karbohidrat . Starter masuk kategori bahan yang tinggi kandungan karbohidratnya berguna untuk mensuplai energi bagi bakteri asam laktat dan penting untuk ditambahkan pada bahan silase yang rendah kandungan terlarutnya seperti legum (McDonald, 1981: 133).

 

 

 

 

BAB III  PEMBAHASAN MASALAH

 

Kajian ilmiah ini dilakukan mulai  April  2018 dimulai dengan penimbangan sample batang pisang dan pembuatan silase. Silase dibuka tanggal 25 April 2018 dan langsung dilakukan uji organoleptik. Sample silase juga dikirim ke Laboratorium Balai Sertifikasi dan Pengujian Mutu Barang Provinsi Kalimantan Selatan  di Banjarbaru untuk di uji kandungan proteinnya.

Kajian ilmiah ini bertempat di SMK SPP Negeri Pelaihari dengan sample dari kebun SMK SPP N Pelaihari. Pembuatan silase dilakukan di unit pengolah pakan ternak SMK SPP N Pelaihari.

Kajian ilmiah dilakukan dengan melakukan penimbangan sample batang pisang di kebun SMK SPP N Pelaihari. Batang pisang yang ada adalah pisang ambon, pisang uli dan pisang kepok. Bagian yang diambil sample adalah keseluruhan batang dan daun yang masih tersisa pada saat pisang ditebang untuk diambil buahnya. Sample batang pisang ditimbang untuk mengetahui berat tiap batangnya dan  kemudian dicacah dengan ukuran 3-5 cm

Gambar 3.1. Pencacahan batang pisang

 

Gamal yang digunakan untuk campuran batang pisang adalah daun yang belum berbunga. Batang pisang dan gamal yang digunakan dijemur +/- 3  jam untuk menurunkan kadar airnya. Menurut Parakasi (1999:653) waktu yang diperlukan untuk melayukan hijauan 1-2 jam pada saat cahaya matahari cukup. Waktu yang digunakan lebih lama dibanding waktu untuk melayukan hijauan karena kandungan air batang pisang lebih tinggi dibanding hijauan.

Bahan starter untuk fermentasi yang digunakan adalah bahan yang mudah didapatkan di Pelaihari, yaitu dedak halus, gaplek dan jagung giling. Starter digunakan sebanyak 5% dari berat bahan.

Bahan silase tersusun atas 70% batang pisang dan 30% gamal. Komposisi tersebut diperkirakan akan mendekati kandungan protein rumput segar sehingga silase yang dibuat bisa menggantikan rumput segar sebagai penyusun ransum ternak ruminansia.

Pembuatan silase dilakukan pada toples kaca agar pengamatan lebih mudah dilakukan. Setiap toples diisi 2 kg campuran bahan silase dan ditutup rapat.

 

Gambar 3.2. Pembuatan silase

Data kualitatif yang dikumpulkan dalam kajian ilmiah ini adalah hasil uji organoleptik terhadap silase meliputi warna, aroma, ada/tidaknya lendir dan jamur. Uji organoleptik dilakukan karena merupakan parameter yang murah  dan cepat pengukuran kualitas silase. Untuk uji organoleptik pada kajian ilmiah ini yang menjadi responden adalah siswa kelas X A program keahlian agribisnis peternakan yang semuanya pernah membuat silase dan mengamati silase.

Data kuantitatif penelitian terdiri dari kandungan protein silase bapigam. Kandungan protein dijadikan parameter untuk mengetahui apakah silase hasil penelitian memiliki protein yang setara dengan rumput. Hal ini didasari pertimbangan bahwa tujuan akhir pembuatan silase bapigam adalah untuk mendapatkan silase yang bisa menggantikan rumput dalam ransum ternak ruminansia.

 


 

Pengujian dilakukan secara organoleptik dan secara kimia setelah proses ensilase selesai, yaitu 3 minggu setelah pembuatan.

 

A.    Hasil Uji Organoleptik

Uji organoleptik silase dilakukan pada saat silase dibuka yaitu tanggal 25 April 2018. 

Perlakuan

Warna

Aroma

Lendir

Jamur

Starter dedak halus

Kecoklatan dan kehijauan

Asam segar

+

+

Kecoklatan dan kehijauan

Asam segar

+

+

Kecoklatan dan kehijauan

Asam segar

+

+

Starter gaplek

Kecoklatan dan kehijauan

Asam segar

+

+

Kecoklatan dan kehijauan

Asam segar

+

+

Kecoklatan dan kehijauan

Asam segar

+

+

Starter jagung giling

Kecoklatan dan kehijauan

Asam segar

+

+

Kecoklatan dan kehijauan

Asam segar

+

+

Kecoklatan dan kehijauan

Asam segar

+

+

 

Hasil uji organoleptik yang dilakukan meliputi warna, aroma, ada tidaknya lendir dan jamur. Warna silase terdiri dari kecoklatan pada bagian batang pisang dan kehijauan pada bagian daun gamal, seperti terlihat pada gambar 3.1.  Perubahan warna silase pada bagian batang pisang tidak tampak jelas tetapi pada bagian daun gamal terjadi perubahan menjadi hijau kecoklatan ( seperti daun dikukus). Hal ini karena pada proses ensilase terjadi pengubahan klorofil menjadi magnesium bebas pigmen phaeophitin yang menyebabkan warna coklat terang. (McDonald et al, 1987:408 )

Gambar 3.1. Sampel silase pada kajian ilmiah

Jamur ditemukan pada bagian atas silase karena adanya oksigen di bagian atas silase. Menurut Ensminger (1992: 342), kehilangan nutrisi silase ada 4 macam yaitu 1) kerusakan/pembusukan permukaan, 2) rembesan, 3) pembentukan gas dan pemanasan.  Pada silase jagung, umumnya kerusakan permukaan berkisar 7% (Pond et al, 2005: 337). 

Lendir ditemukan pada bagian permukaan silase karena kondisi kedap udara tidak tercapai pada bagian atas silase sehingga memungkinkan berkembangnya bakteri Clostridia. Bakteri Clostridia mampu tumbuh pada kondisi oksigen yang sangat rendah (McDonald, 1981: 77).

Silase yang dibuat beraroma asam segar. Aroma silase ini mengurangi aroma khas daun gamal segar. Aroma asam segar juga menunjukkan bahwa silase yang dibuat merupakan silase yang baik. Nutrisi yang diawetkan pada pembuatan silase mencapai 85% atau lebih sedang pada pembuatan hay hanya maksimal 80%, bahkan 50-60% saja bila kondisi tidak baik (Ensminger, 1992: 333).

Dari keseluruhan pengujian organoleptik silase yang dibuat merupakan silase yang baik, artinya silase bapigam bisa dibuat dengan starter gaplek, dedak halus maupun jagung giling. Perbedaan bahan starter tidak berpengaruh pada kualitas silase secara organoleptik.

 

Gambar 1. Pemberian silase pada sapi potong sekolah

Silase telah coba diberikan pada sapi milik sekolah. Baik sapi potong maupun sapi perah yang mendapat silase menunjukkan bahwa sapi menyukai silase bapigam. Namun pemberiannya belum menggunakan prosedur ilmiah pengujian palatabilitas pakan sehingga untuk menyimpulkan tingkat palatabilitasnya masih diperlukan kajian lanjutan. Salah satu karakteristik silase yang baik adalah disukai ternak (Ensminger, 1992:355).

Selain diberikan pada sapi potong, silase batang pisang dan gamal juga diberikan pada sapi perah untuk menihat palatabilitasnya. Hasil menunjukkan bahwa sapi perah juga menyukai silase berbahan batang pisang dan gamal tersebut.

 

Gambar 3. 2. Pemberian silase pada sapi perah sekolah

B.     Uji Laboratorium

Setelah dilakukan uji organoleptik, selanjutnya sampel dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan pengujian kadar  protein kasarnya. Pengujian dilakukan hanya untuk protein kasar karena keterbatasan waktu dan dana. Pengujian protein selesai pada tanggal 9 Mei 2018.

 

Perlakuan

Kandungan Protein Kasar (%)

 

Rata rata (%)

A

10,44

10,06

10,50

10,2

 

B

10,06

9,94

10,19

10,06

 

C

11,31

10,06

10,44

10,47

 

Rerata

 

10,24

 

Tabel 3.2. Kandungan protein kasar silase dengan berbagai starter

          Hasil pengujian menunjukkan bahwa rata rata kandungan protein kasar silase bapigam adalah 10,24%. Besarnya kadar protein kasar hasil kajian ilmiah lebih tinggi dibanding kadar protein rumput gajah umur 43-56 hari yaitu sebesar 9,1 % (Hartadi dkk,2005:92) .  Faktor utama yang berpengaruh pada kandungan protein kasar silase diduga adalah adanya gamal dan rendahnya nitrogen yang hilang. Menurut McDonald (1981: ) nitrogen yang hilang selama ensilase kira kira 15,2%. Menurut pendapat Cullison dan Lowrey (1987) proses fermentasi menghasilkan gas NO dan NO2 .

 

 

Keterangan:

A: Silase dengan starter gaplek

B: Silase dengan starter dedak

C: Silase dengan starter jagung giling

Ilustrasi 4.1. Diagram Batang Kandungan Protein Silase

Hasil pengujian kadar protein kasar selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 2.  Besarnya perbedaan kadar protein kasar secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena proses ensilase batang pisang dan gamal tetap terjadi dengan baik meskipun starter yang digunakan berbeda. Menurut Ensminger et al (1992),  proses ensilase ditentukan oleh tiga faktor yaitu : (1) komposisi kimia tanaman, (2) kandungan udara yang ada dalam silo dan (3) aktivitas bakteri yang ada.

Kandungan protein kasar yang tinggi pada gamal menyebabkan silase memiliki protein lebih tinggi daripada protein rumput. Pencampuran batang pisang dan gamal dengan perbandingan 7: 3 sudah menghasilkan silase yang kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan rumput segar. Hal ini diduga karena gamal yang digunakan merupakan gamal yang masa pertumbuhan awal. Menurut Hartadi dkk (2005: 80), kandungan protein kasar gamal pada pertumbuhan awal adalah 25,7%. Legum merupakan bahan pakan yang penting karena kemampuannya memfiksasi nitrogen dan kandungan proteinnya yang tinggi  (McDonald, 1981: 34).

 


 

BAB IV KESIMPULAN

Dari hasil kajian ini bisa disimpulkan bahwa silase batang pisang dan gamal memiliki kandungan  protein yang lebih tinggi dibandingkan rumput segar. Jadi peluang silase bapigam untuk digunakan sebagai pengganti rumput segar dalam pakan cukup besar. 

 Starter tidak mempengaruhi kualitas silase bapigam, jadi silase bapigam bisa dibuat dengan berbagai macam starter.  Hal ini berarti bahwa aplikasi pembuatan silase ditingkat petani/peternak akan mudah karena tidak tergantung pada ketersediaan starter tertentu.

Perlu dilakukan uji lebih lanjut terhadap silase bapigam untuk mengetahui kandungan komposisi gizi yang lain, palatabilitas dan kecernaannya pada ternak ruminansia agar silase bapigam bisa dikembangkan sebagai salah satu alternatif bahan pakan ternak ruminansia.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anonimous, 2015.  Laporan akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Distantph.kalselprov.go.id. diunduh 11 Mei 2018

 

Cahyono, B.  2018.  Sukses Budidaya Pisang di Pekarangan dan Perkebunan. Lily Publisher. Yogyakarta

 

Cullison, A.E. & Lowrey, R. S. 1987.  Feeds and Feeding. Fourth Edition. (Page 234-245) A Resto Book Prentice Hall. Englewood Cliffs.

 

Efendi, dkk.  2015.  Agribisnis Produksi Ternak. BPSDMPK-PMP. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Ensminger, M.E., et al. 1992. Feed and Nutrition. Second Edition. The Ensminger  Publishing Company. Clovis. California.

 

Junaida, dkk. 2014. Buku Hasil Uji Bahan Pakan dan Hijauan Pakan Ternak. BPSMP Ditjennak. Kementrian Pertanian.

 

Mastika, Made. 2011.  Potensi Limbah Pertanian dan Industri Pertanian untuk Makanan Ternak. Udayana University Press. Denpasar

 

McDonald, P.  1981. The Biochemistry of Silage. John Wiley and Sons.

 

Parakkasi, A. 1999.  Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminant.  UI Press. Jakarta.

 

Prahasta, A. 2009. Agribisnis Pisang.  Pustaka Grafika. Bandung

 

Pribadi, S.H. 2014. Penanaman Hijauan Makanan Ternak yang Berkualitas. Tabloidsinartani.com 29 September 2014. Diunduh 11 Mei 2018.

 

Rukmana, R. 2005.  Budi Daya Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak.  (hal 51-57) Kanisius. Yogyakarta.