A.
PENDAHULUAN
Sekolah Pertanian Pembangunan
sebagai salah satu sekolah kejuruan bidang pertanian menitik beratkan
kurikulumnya pada pembelajaran ketrampilan.
Apapun jenis kurikulum yang pernah diterapkan di SPP, pembelajaran
ketrampilan selalu ada di SPP.
Salah
satu model pembelajaran yang sesuai untuk mengajarkan ketrampilan adalah model
pelatihan (Training Model). Training
model bukanlah model pembelajaran baru, yang bahkan mungkin sudah
diterapkan sebagian atau seluruhnya oleh para guru SPP. Tetapi mungkin penerapan itu tanpa
pengetahuan tentang teori teori yang mendukung model itu dan hanya diajarkan
karena “ begitulah dulu guru itu diajar”.
Tidak
banyak tulisan baru tentang model pembelajaran ini. Mungkin karena telah banyak model
pembelajaran baru yang dianggap efektif untuk diterapkan. Tetapi training model masih menjadi model
yang banyak digunakan, terutama oleh para pelatih dan guru olah raga,
instruktur pada kursus ketrampilan,widya iswara pada pelatihan teknis dan lain
lain.
Gambar salah satu kegiatan praktek di SPP Pelaihari
B.
DUKUNGAN
TEORITIS
Training
model adalah salah satu model pembelajaran yang didasari
pemikiran behavioristik. Dalam training model, observasi dan latihan
adalah alat untuk mencapai perilaku baru
dan mengeliminasi yang sudah ada.
Kontrol stimulus dan feed back juga selalu ada dalam pembelajaran model
ini.
Stimulus adalah berbagai kondisi,
kejadian atau perubahan di lingkungan
seseorang yang menyebabkan perubahan pada diri seseorang. Stimulus bisa verbal (lisan dan tertulis)
atau fisik.
Bagian
pokok atau inti dari training model adalah logika dan teknik teknik yang bisa
mengeliminasi perilaku dengan cepat.
Oleh karena itu hampir tidak mungkin kalau guru tidak menggunakan cara
yang sistematis pada saat aplikasi model ini.
Menurut
Gagne (1982), kondisi eksternal untuk pembelajaran ketrampilan (motor skill)
adalah dengan instruksi verbal, gambar, demonstrasi, praktek dan umpan balik. Sifat
umpan balik berbeda tergantung pada proses belajar yang dilakukan. Sedangkan
menurut toeri Anderson dalam Dahar (1988), urut urutan aksi dipelajari dengan
cara: Mula mula si pelajar menyajikan suatu urutan aksi aksi dalam bentuk
deklaratif . Lalu berkembang suatu penyajian procedural dari urutan aksi dengan
pengalaman dalam mencoba menghasilkan urutan aksi.
C.
TRAINING
MODEL: DESAIN, DEMONSTRASI, PRAKTEK / LATIHAN DAN UMPAN BALIK
1. Orientasi
Model
Pada akhir tahun 1950an empat
aliran pemikiran bergabung untuk menemukan pendekatan penyelesaian permasalahan
pengorganisasian pendidikan dan pelatihan.
Keempat cabang pemikiran itu adalah psikologi pelatihan (training psychology),
psikologi sibernetika (cybernetic psychology), analisis sistem (systems
analysis) dan psikologi tingkah laku (behavioral psychology).
Psikologi pelatihan menekankan pada
analisis tugas dan desain hubungan komponen komponen pelatihan; psikologi
sibernetika focus pada dinamika umpan balik dan self regulation, pengembangan
system menekankan pada analisa terhadap system dan behavioris menekankan pada
demonstrasi dan prakteknya.
Psikologi
Pelatihan. Cabang
pemikiran pertama yang merupakan hasil riset tentang situasi pelatihan yang
kompleks yang dikembangkan sebagai reaksi atas sedikitnya teori tentang itu.
Psikologi pelatihan focus pada aktivitas dimana orang menampilkan fungsi fungsi
yang perlu dikerjakan dengan ketepatan tinggi dan unujuk kerjanya harus benar
benar tepat karena menentukan keselamatan diri sendiri maupun tim. Banyak pelatihan dikembangkan dalam merespon
kebutuhan kemiliteran seperti pelatihan untuk anggota kru penyelam atau
bomber. Waktu pelatihan untuk
ketrampilan ini biasanya singkat dan sangat memerlukan koordinasi tingkat
tinggi antar anggota. Kesalahan salah
satu anggota bisa membahayakan diri sendiri, anggota yang lain atau bahkan bisa
menyebabkan gagalnya suatu operasi militer.
Para psikolog menemukan bahwa
diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks daripada
stimulus-respon-reinforcement untuk pelatihan yang komplek semacam itu. Maka
lahirlah satu cabang psikologi yang kemudian disebut psikologi pelatihan.
Psikologi pelatihan berkonsentrasi
pada pengkonsepan tujuan dan hal yang harus dilakukan (tugas) saat unjuk kerja,
memerinci tugas tugas menjadi komponen komponennya, mengembangkan komponen
komponen pelatihan untuk memastikan tercapainya masing masing sub komponen dan
mengatur keseluruhan situasi pembelajaran menjadi suatu urutan yang memastikan
akan adanya transfer dari suatu komponen ke komponen lain dan bahwa
pembelajaran yang menjadi prasyarat akan dicapai sebelum pembelajaran yang
lebih sulit. Seperti psikologi tingkah
laku, psikologi pelatihan juga menaruh perhatiannya pada perincian dan
pengurutan/perangkaian tingkah laku dan juga membentuk perilaku untuk prestasi
atau unjuk kerja terbaik. Psikologi
pelatihan juga mementingkan reinforcement dan umpan balik tetapi kontribusi utamanya
adalah pada desain pembelajaran.
Psikologi
sibernetika.
Adalah cabang pemikiran yang dikembangkan selama perang dunia kedua dan
sangat dekat dengan riset pelatihan yang bisa juga dianggap sebagai cabangnya,
yang didasarkan pada konseptualisasi manusia secara teknis. Manusia seperti mesin elektronik, system
sibernetika, yang menggunakan proses sensory terhadap umpan balik untuk
mengontrol dan memodifikasi tingkah lakunya sendiri.
Ahli psikologi sibernetika sering
kali menggunakan peralatan sebagai simulator untuk mempelajari tingkah laku
manusia dan sebagai bagian dari system pelatihan.
Karena manusia dipahami sebagai
“system yang bisa mengoreksi diri sendiri”, maka manusia memerlukan informasi
tentang kemampuannya. Informasi
diperlukan bukan hanya tentang hasil tetapi juga sampai dimana level
kecakapannya. Desainer pembelajarannya (pelatih) ingi memberikan umpan balik
secepatnya dan agar peserta bisa
mengetahui letak kesalahannya. Umpan balik yang tidak akurat atau
menyesatkan dapat membuat hasilnya
buruk. Dan umpan balik yang segera diberikan dianggap lebih efektif
dibandingkan yang tidak langsung.
Desain
system. Cabang
pemikiran ketiga yang sangat dekat dengan psikologi pelatihan dan psikologi
sibernetika adalah pengembangan system. Makin bertambahnya ahli psikologi
perencana pelatihan, kemiliteran, perindustrian dan pendidikan dan desainer
peralatannya menimbulkan kesadaran bahwa setiap tingkah laku orang menjalankan salah satu bagian system yang terorganisasi.
Sistem ini tidak hanya terdiri dari manusia ‘yang bertingkah
laku’ tetapi juga sebagai bagian dari system organisasi, bersama dengan mesin
dan system komunikasi membentuk organisasi, cara cara personel disebarkan dan
jenis jenis pelatihan yang digunakan. Desainer sekarang
enggan mengembangkan peralatan tanpa mengkonseptualisasikannya sebagai bagian
dari system manusia-mesin - melihat bagaimana kecocokan dengan mesin yang lain,
dengan manusia sebagai operatornya dan dengan komunikasinya.
Dengan pikiran yang sehat, desainer
merencanakan untuk membuat mesin yang bisa dioperasikan oleh banyak orang. Pendekatan system membuat desain dengan
melihat semua komponen, memadukan sumber yang tersedia dengan kebutuhan.
Intisari dari analisis system
adalah membuat model yang menggambarkan keseluruhan organisasi. Dalam
perencanaan system yang pertama dibuat adalah indentifikasi system secara
keseluruhan, sub system dan fungsinya, kemudian menyusun detail system,
termasuk spesifikasi jenis manusia-mesin tertentu untuk bisa berfungsi dalam
system yang lebih besar..
Sebagai contoh , pelajar yang
mencoba melewati ujian kecakapan sekolah menengah yang mengindikasikan
kompetensi “kecapakan dasar” , saat staf administrasi dan guru memberikan soal
sesuai kenyataan dilapangan sering kali siswa tidak mampu, mereka tidak mampu
membaca peta jalan raya, mengisi form pajak, atau membuat perencanaan
transportasi menggunakan jadwal penerbangan pesawat. Jika situasi pembelajaran bersifat khas seharusnya
digabungkan antara prinsip prinsip psikologi pelatihan dan desain system dalam
perencanaannya, permasalahan transfer tidak akan menjadi besar. Kebanyakan pendidik (para guru, penyusun
kurikulum, penulis buku) berpikir tentang pemerolehan materi pelajaran daripada
tugas tugas fungsional dan hasilnya terlihat dengan rendahnya hasil ujian
kompetensi.
Psikologi
tingkah laku.
Cabang pemikiran keempat yang meneliti permasalahan pada pelatihan
adalah teknik teknik modeling psikologi tingkah laku. Ciri ciri penting modeling adalah peserta
pelatihan menampilkan demonstrasi baik
secara langsung atau simbolis satu tingkah laku baru dan prakteknya dengan
petunjuk dari instruktur. Meskipun penelitian menunjukkan bahwa observasi
sangat berguna untuk mengembangkan tingkah laku baru, yang paling efektif
adalah modeling (demonstrasi) dengan informasi dan praktek.
Modelling biasa digunakan untuk mempermudah pembentukan tingkah laku , mengurangi ketakutan dan kegelisahan, juga
bisa untuk melatih tingkah laku baru seperti pengembangan bahasa dan kecakapan
kecakapan psikomotor. Penarikan diri,
isolasi dan tingkah laku hiperagresive juga menggunakan modeling untuk
terapinya.
Prosedur yang dihubungkan dengan
modeling didasarkan pada prinsip prinsip dari teori behavior seperti
reinforcement dan perkiraan berturut
turut. Rimm dan Masters mengidentifikasi
empat factor yang efektif dalam modeling yaitu: 1) Peserta mengobservasi ada
tidaknya yang konsekuensi menakutkan. 2) Mereka memperoleh pengetahuan teknis
dan informasi selama demonstrasi. 3) Kecakapan kecakapan itu diperbaiki selama
fase latihan. Pada fase ini kegelisahan atau ketakutan berkurang dan
kepercayaan diri meningkat. 4) Dukungan dari instruktur membantu peserta.
Modeling adalah istilah yang
digunakan oleh ahli psikologi tingkah laku pada saat memberikan perlakuan
(treatment) pada masalah masalah tingkah laku seperti ketakutan atau
fobia. Juga terbukti berhasil untuk
terapi pengembangan kemampuan bicara dan tingkah laku social pada anak autis. Terbukti, bidang bidang lain menggunakan
prosedur demonstrasi dan praktek selama bertahun tahun dalam pelatihan, tetapi
sedikit yang melakukan seempiris dan sepenuhnya seperti behavioris (penganut
aliran behavioristik).
2. Tujuan
dan asumsi
Meskipun empat bidang yang dibahas
diatas memiliki spesifikasi tetapi keempatnya memiliki filosofi umum yang sama.
Keempatnya terutama menaruh perhatian pada tujuan pelatihan dan desain
pelatihan daripada aspek filosofis konsepsi psikologis manusia atau
masyarakat. Ahli psikologi sibernetika,
psikologi tingkah laku, psikologi pelatihan dan desain system bekerja untuk
mempelajari desain pelatihan dan tingkah laku manusia saat pelatihan. Mereka menanyakan, Apakah tujuan yang hendak
dicapai? Sifat dasar dari program pelatihan adalah berasal dari analisa tujuan
dan usaha membuat kondisi pelatihan yang akan membentuk ‘ketrampilan’ peserta
menjadi seperti yang diinginkan.
Kelompok desainer pembelajaran ini
umumnya ingin memecahkan masalah masalah pelatihan yang luas cakupannya mulai
dari kecakapan psikomotor, kecakapan memecahkan masalah yang kompleks dan
bahkan kadang terapi dan pelatihan
interpersonal . Oleh karena itu model
modelnya diaplikasikan secara luas pada pendidikan dan pelatihan.
3. Sintaks
(urutan kegiatan)
Model
Pengajaran Training menurut Joyce dan
Weil (1980) memiliki lima fase yaitu klarifikasi tujuan, penjelasan teori,
demonstrasi unjuk kerja yang benar, praktek simulasi dengan feed dan transfer
training.
Fase
pertama klarifikasi, dimulai dengan pernyataan tujuan, hal ini penting karena
tujuan harus spesifik dan jelas dipahami siswa. Fase kedua, penjelasan teori,
setelah tujuan disampaikan maka dibutuhkan penjelasan teoritis tentang mengapa
tujuan itu diperlukan dan unjuk kerja apa yang harus dicapai. Fase ketiga
demonstrasi, pada fase ini ditunjukkan gambaran , model tingkah laku , film,
video atau demonstrasi secara langsung unjuk kerja yang tepat. Fase keempat praktek simulasi, siswa atau
peserta training akan mengerjakan tugas dari tiap tiap elemen prosedur dan
diberikan feedback sebagai control ketepatan unjuk kerja yang ditampilkan. Fase kelima, transfer pada kondisi yang
sesungguhnya. Pada awalnya transfer
diawali dengan control dari guru atau pelatih tetapi kemudian siswa atau
peserta akan mengoreksi tindaknnya sendiri dan secara bertahap kecakapannya
meningkat.
4. Sistem
social
Para pebelajar memiliki pilihan
yang berbeda dalam pelatihan. Ada yang menyukai dikontrol dan ada yang
tidak. Pebelajar yang tidak suka
dikontrol akan sulit belajar apabila pelatih terlalu mengontrolnya. Mereka
memerlukan otonomi yang lebih besar untuk menyelesaikan tugasnya dan akan
memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri. Tetapi pebelajar yang lain mungkin
memerlukan umpan balik dari luar untuk bisa belajar. Sistem sosial yang optimal
untuk aplikasi training model memadukan
tujuan dan pola pelatihan yang cocok untuk bermacam macam tipe
pebelajar.
5. Prinsip
prinsip reaksi
Pelatih, guru atau tutor
menggunakan training model memberikan umpan balik sesuai tingkat kemampuan
peserta. Baik pelatih maupun “system analisis tingkat kemampuan peserta
pelatihan” memberikan umpan balik
tentang rangkaian pembelajaran yang harus dilakukan hingga benar benar mampu. Hal yang sangat penting adalah bahwa umpan
balik yang diberikan cukup akurat, lengkap dan detail untuk peserta pelatihan
memahami kemampuannya. Idealnya pelatih atau system memberikan cara bagi
peserta untuk mengoreksi dirinya sendiri. Prinsip prinsip ini mengacu pada
teori bahwa manusia merupakan system yang mampu mengoreksi informasi bagi
dirinya sendiri, jika diberika umpan balik tentang sifat dan akibat unjuk kerjanya, mereka akan
mengoreksi dirinya sendiri.
6. Sistem
pendukung
Guru atau pelatih yang baik,
bekerja sendiri, dapat menyediakan berbagai unsure yang diperlukan untuk system
pelatihan secara sederhana dengan memberikan “arena (kesempatan)” untuk latihan
kecakapan yang sedang diajarkan. Misalnya guru bahasa Inggris mengajarkan bahwa
untuk penyusunan essay diperlukan
pensil, kertas dan siswa yang aktif. Peralatan peralatan teknis berguna
khususnya untuk kecakapan psikomotor yang kompleks yang banyak dibidang
atletik. Pelatih sepakbola menggunakan film,
rintangan, simulasi sesudah gol secara bersama yang mirip kondisi
permainan yang sebenarnya dan melatih dengan menekankan satu kecakapan
saja pada satu waktu. Semua itu berguna. Camp
tenis menyediakan berbagai film pendek yang mendemonstrasikan pemain
dalam kondisi yang bervariasi.
7. Aplikasi
Training
Model bisa diaplikasikan untuk berbagai permasalahan
pendidikan. Banyak guru menggunakan
untuk ketrampilan dasar membaca dan menulis.
Disamping itu juga untuk membantu dalam permasalahan perilaku social dan
menghilangkan rasa takut. Guru olah raga dan pelatih kursus mengemudi adalah
orang orang yang paling sering menggunakan model ini. Aspek dari model ini
kebanyakan berdasarkan intuisi- saat kita bekerja dengan peserta pelatihan,
kita melakukan demonstrasi dan kemudian memberi petunjuk saat mereka berlatih.
Untuk tingkah laku (ketrampilan) yang sederhana, yang diperlukan hanya
demonstrasi dan pemberian petunjuk saat latihan. Tantangan untuk pendidik ketrampilan yang
lebih kompleks tergantung pada konseptualisasi yang masuk akal dan definisi
tugas, pengurutan yang teliti dan demonstrasi yang diikuti dengan pemberian
petunjuk saat latihan, pertama dibawah kondisi simulasi untuk memastikan
tercapainya kemampuan komponen komponen kecakapan dan integrasi kecakapan
kecakapan itu menjadi satu kesatuan yang coherent.
Training
model bisa menggunakan mediasi instruktur ataupun dengan
mediasi bahan lain. Bahan ini didesain sesuai dengan prinsip prinsip desain
pembelajaran ( yaitu, konseptualisasi kemampuan akhir yang diharapkan,
memerincinya menjadi komponen komponen tugas dan menyusunnya menjadi rangkaian
tindakan untuk mencapai kelulusan, memperjelas pelatihan dengan informasi tugas dan sub sub tugas dan memberikan
informasi saat demonstrasi, petunjuk saat latihan, umpan balik dan
reinforcement.)
Pembelajaran
ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja kadang dibutuhkan
pemikiran yang melebihi kemampuan guru. Tetapi apabila guru benar benar
menguasai ketrampilan itu dengan baik tidak sulit untuk membuat analisis tugas
dan membuat urutannya. Hunziker mengembangkan
langkah langkah pelatihan berenang untuk orang yang takut air.
D.
PENERAPAN
TRAINING MODEL UNTUK PEMBELAJARAN PASCA PANEN
Jika
dilihat dari pembahasan teori training
model, maka banyak sekali proses pembelajaran di SPP yang menggunakan model
pembelajaran ini. Saat guru reproduksi
ternak mengajarkan Inseminasi Buatan, atau saat guru makanan ternak mengajarkan
pembuatan silase atau siapa saja yang mengajarkan ketrampilan biasa menggunakan
model pembelajaran ini.
Guru
menjelaskan tujuan, kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan teori tentang materi yang diajarkan. Setelah itu
guru mendemonstrasikan langkah langkah yang
benar. Kemudian siswa akan mencoba mempraktekkannya, baik dalam simulasi
maupun langsung dalam kondisi nyata. Pada saat siswa praktek, guru mengoreksi
tindakan siswa yang tidak sesuai prosedur yang benar (memberikan umpan balik).
Biasanya
simulasi dilakukan apabila latihan dengan kondisi nyata tidak
memungkinkan. Alasannya bisa bervariasi,
dari tingkat resiko hingga factor biaya.
Dibawah
ini dua contoh pembelajaran yang menggunakan training model dengan metode yang disesuaikan dengan karakteristik
materi ketrampilan.
Contoh
ketrampilan 1:
Mata
Pelajaran : Teknologi Pasca
Panen semester 3
Standar
kompetensi : Pengolahan Daging
Kompetensi
Dasar : Pembuatan chicken nugget
Langkah
langkah
Tahap
persiapan guru sebelum jam belajar. Sama dengan
penggunaan model lain, pada penggunaan metode training model guru lebih memilih
media yang akan digunakan. Untuk
ketrampilan pasca panen, media video dan sekaligus alat dan bahan aslinya, merupakan
alternative yang bisa dipilih. Untuk pembuatan chicken nugget, guru menyiapkan
alat dan bahan berupa daging ayam yang sudah digiling, tepung roti, keju atau
bisa diganti tepung tapioca, telur, bawang putih lada, penyedap, plastic
packing, plastic lembaran. Jumlah keperluan bahan disesuaikan dengan jumlah
kelompok dalam kelas. Peralatan berupa
freezer, kompor, penggiling bumbu, pengocok telur, baskom, dandang pengukus,
cetakan, pisau, disediakan sesuai keperluan kelompok dan jumlah bahan yang
tersedia (sesuai anggaran).
Guru menentukan anggota kelompok (2-3 orang).
Pembatasan anggota memungkinkan siswa untuk bekerja sama tanpa mengurangi
kesempatan belajarnya (time on task).
Tahap
tahap selama pembelajaran
1. Guru
menjelaskan tujuan pembuatan chicken nugget
2. Guru
menjelaskan mengapa siswa belajar membuat chicken nugget
3. Guru
mendemonstrasikan pembuatan chicken nugget dengan:
·
Menggunakan video pembelajaran.
Merupakan aternatif pertama karena meskipun pembuatan awalnya memerlukan waktu
dan biaya, tetapi sekali dibuat bisa digunakan berulang kali. Untuk mengajar langkah demi langkah suatu proses, guru dapat menunjukkan dengan waktu yang sesungguhnya, tetapi
dengan media proses bisa dipercepat atau
diperlambat. Dalam hal ini, proses dipercepat untuk menghemat waktu.
·
Atau menyiapkan bahan bahan, bahan
setengah jadi dan nugget yang sudah jadi. Guru menunjukkan bahan yang
diperlukan. Kemudian guru menunjukkan langkah langkahnya dengan praktek. Karena
proses pembuatannya cukup lama, maka guru lebih dahulu menyiapkan bahan
setengah jadi dan bahan jadi untuk mempersingkat waktu. Siswa mengamati
tindakan guru.
4. Siswa
mempraktekkan pembuatan chicken nugget dengan bimbingan guru (feed back). Pemberian
umpan balik untuk prosedur yang merupakan urutan aksi, hendaknya menunjukkan
secara tepat dalam hal aplikasi itu tidak betul
atau secara tepat bagaimana cepatnya suatu prosedur yang betul
diterapkan (Dahar, 1988).
Guru
bisa menggabungkan langkah ketiga dan keempat. Guru mempraktekkan langkah
pertama. Siswa langsung mengikuti. Setelah langkah pertama diselesaikan siswa,
guru melanjutkan ke langkah kedua, dan seterusnya sampai selesai.
Untuk
ketrampilan ini bisa tanpa penggunaan langkah simulasi. Pertimbangannya adalah bahwa ketrampilan ini
tidak beresiko dan pengadaan bahan bahannya mudah.
Pembelajaran
pembuatan chicken nugget sampai pada tahap trampil untuk melaksanakan prosedur,
cocok menggunakan traning model. Tetapi untuk selanjutnya dimana siswa dikembangkan
kreativitasnya dengan membuat variasi chicken nugget, model ini tidak sesuai.
Pembelajaran bisa dikembangkan dengan model lain yang memungkinkan siswa
membuat pilihan subtitusi bahan untuk pengembangan produk. Misalnya siswa bisa
dilibatkan dalam diskusi untuk menentukan : bahan apa yang paling sesuai untuk
subtitusi salah satu bahan chicken nugget, mencari alasan mengapa bahan
tersebut dipilih, siapa kira kira calon konsumennya, atau seberapa pengaruhnya
terhadap biaya produksi.
Sebagai
assessment yang terbaik dilakukan dengan uji kompetensi. Siswa melakukan
pembuatan chicken nugget dengan penilaian mulai dari langkah kerja dan
komposisi penggunaan bahan yang sesuai dengan saat pembelajaran dilakukan
E.
PENYERTAAN
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PELAJARAN TEKNOLOGI PASCA PANEN
Menurut
Gage dalam Dahar (1988), belajar dapat
didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya
sebagai akibat pengalaman. Untuk mengukur belajar, kita membandingkan cara
organisme itu berperilaku pada waktu 1 dengan cara organism itu berperilaku
pada waktu 2 dalam suasana yang serupa.
Strategi
pembelajaran karakter pada dasarnya adalah merupakan cara, pola, metode, atau
upaya yang dilakukan oleh pendidik dengan memberi kemudahan kemudahan agar
peserta didik mudah belajar, dan dalam konteks pembelajaran karakter, pemberian
kemudahan tersebut dalam kerangka untuk mengembangkan karakter baik atau agar
peserta didik dapat mengembangkan karakter baiknya sendiri (Akbar, 2011).
Salah
satu metode yang bisa digunakan adalah metode Diskusi Dilema Moral. Metode ini memanfaatkan bahan diskusi yang
berupa cerita atau isu isu yang dilematis.
Dengan mencermati tanggapan peserta didik tersebut seorang guru dapat
menempatkan posisi pandangan peserta didik tersebut kedalam tahapan
perkembangan moral. Kemudian siswa
dilibatkan pada diskusi berikutnya untuk mencapai tahapan perkembangan moral
yang lebih tinggi.
Pembelajaran
Teknologi Pasca Panen bisa digunakan untuk mengajarkan karakter menyukai
kebersihan dan perilaku bertanggung jawab sebagai seorang produsen
makanan. Misalnya, memberikan video
tentang proses pembuatan makanan ( seperti bakso) yang tidak higienis atau yang
‘jorok’ atau pemberian bahan tambahan yang berbahaya. Proses itu memberikan
keuntungan yang besar buat tokoh dalam video.
Sementara itu, tokoh digambarkan sebagai seorang yang berada dalam
masalah keuangan yang pelik, seperti tidak punya uang dan salah satu anggota
keluarganya sakit keras dan tidak ada yang mau membantu. Siswa diminta memberikan komentar tentang
video tersebut. Bagaimana tanggapan mereka sebagai konsumen? Bagaimana
tanggapan mereka jika menjadi produsen.
Siswa
SPP sudah mampu memberi penilaian terhadap suatu peristiwa. Maka kemudian guru membawa siswa untuk melakukan
refleksi : Jika mereka tidak menginginkan menjadi konsumen yang dirugikan, maka
pada saat menjadi produsen, mereka tidak boleh merugikan konsumen.
Siswa
juga dibiasakan untuk selalu membersihkan peralatan yang mereka pakai dan
tempat praktek mereka setelah praktikum selesai. Tidak boleh ditunda. Berikan pengertian bahwa
bahan pangan akan mengalami proses kerusakan, baik secara cepat maupun
lambat. Kerusakan itu membuat sesuatu
yang hari ini bernama makanan besok bisa bernama sampah.
F.
KESIMPULAN
Traning
model merupakan model pembelajaran yang bisa diterapkan
untuk berbagai materi ketrampilan motorik di SPP. Penggunaan traning model lebih efisien untuk
pembelajaran sampai tahap trampil. Untuk tahap yang menuntut
pengembangan kreativitas, maka guru sebaiknya menggunakan model lain.
Guru
bisa saja menyertakan pembentukan karakter siswa dalam pengajaran dengan training model. Karakter yang diajarkan
bisa dihubungkan dengan materi pelajaran ketrampilan.
DAFTAR RUJUKAN
Akbar, Sa’dun. 2011. Pembelajaran Nilai dan Karakter:
Pendekatan dan Strategi Pembelajaran untuk Pengembangan dan Pembinaan karakter.
Makalah seminar. Malang
Dahar, R.W. 1988. Teori Teori Belajar. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
Fleming, M. and W. H. Levie. 1978.
Instructional Message Design. Principles from the Behavioral Sciences.
Educational Technology Publications.
Englewood Cliffs, New Jersey 07632
Tidak ada komentar:
Posting Komentar