PERUBAHAN
KURIKULUM DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM BARU
Tujuan
bab ini adalah memberikan pembacanya beberapa pendekatan untuk mempengaruhi
perubahan kurikulum. Kekuatan dan
kelemahan pendekatan ditunjukkan. Perbedaan antara menggambarkan bagaimana perubahan
terjadi dan menentukan bagaimana kurikulum dipertahankan.
Bab
ini meliputi perspektif sesungguhnya dari persoalan yang serius seperti apakah
perubahan kurikulum sebaiknya dimulai dari guru, administrator atau dari
anggota anggota komite local, negara bagian atau tingkat federal.
Orang
mungkin berpikir bahwa kurikulum yang disusun oleh guru untuk digunakan dikelas
mereka sendiri akan menjadi kurikulum yang paling mudah diterapkan. Guru akan
paham tujuannya dan memiliki pertimbangan kemungkinan pembelajaran untuk
mencapai tujuan itu. Guru mungkin enggan mengembangkan dan menjalankan kurikulum
karena beberapa alasan. Sebagai contoh,
mereka mungkin mendapat tentangan untuk mengubah kurikulum dari orang tua
siswa, teman sejawat atau kepala sekolah.
Meski kadang tentangan ini tidak ‘eksplisit’ dan hanya berupa
penghindaran terhadap inovasi.
Disisi
lain, administrator sering merasa tidak berdaya untuk memprakarsai penerapan
kurikulum baru, sulit untuk meyakinkan stafnya, hanya sebagian merespon dengan
semangat dan melaksanakan perubahan tujuan. Tidak mudah mempengaruhi kelas
dalam hal tertentu saat seseorang tidak berada didalam kelas. Meskipun
administrator memiliki dana untuk mendorong perkembangan kurikulum hasilnya
seringkali tidak signifikan.
Permasalahan
tentang siapa yang mengembangkan kurikulum ditingkat nasional juga ada. Yang
pertama, bagaimana cara kurikulum diambil. Sulit untuk meniadakan pengaruh
politis komite penyusunan buku teks, komisi kurikulum, papan pendidikan dan
kelompok kelompok lain hingga kurikulum bisa tersedia bagi guru. Kadang problem
yang lebih besar adalah bagaimana produk produk tersebut digunakan secara nyata
disekolah. Studi kelas oleh Goodlad,
Klein dan kawan kawan mendapatkan kesimpulan bahwa para praktisi tidak memahami
dengan benar gagasan gagasan tentang apa yang diperlukan untuk menjalankan
inovasi kurikulum.
A. Konseptualisasi
Proses Perubahan
Kategorisasi
perubahan berdasarkan tingkat kesulitan.
Para
ilmuwan behavioristik mencoba mengintepretasikan proses perubahan yang ada
dalam lima tingkat perubahan.
1. Subtitusi. Satu elemen kurikulum bisa menggantikan yang
sudah ada sebelumnya. Misalnya mengganti buku teks lama dengan buku baru.
2. Alterasi. Alterasi terjadi saat perubahan dengan
mengganti materinya, aktivitasnya dll
3. Perturbation
( ganggguan/kekacauan). Perubahan ini mengganggu tapi guru bisa beradaptasi
dengan segera. Misalnya perubahan waktu mengajar atau jadwal.
4. Perubahan
struktur. Perubahan ini dipicu oleh perubahan system. Misalnya dari kurikulum terpusat menjadi
desentralisasi.
5. Perubahan
orientasi nilai. Perubahan yang mendasar pada kurikulum karena perubahan nilai
yang diikuti. Misalnya dari kurikulum humanistic menjadi kurikulum berbasis
akademik atau kurikulum rekonstruksi social.
Penyusun kurikulum mencari, dari
kelima perubahan mana yang diperlukan. Sebelum memperkenalkan perubahan lebih
dahulu mereka akan mengklasifikasi tingkat perubahan dan mempelajari
kemungkinan kesulitan dan akibatnya.
B. Studi
Sosiologis Perubahan Kurikulum
Ahli sosiologi mempelajari stabilitas dan perubahan dalam
organisasi. Mereka menemukan bahwa baik chanel komunikasi formal maupun
informal adalah fitur perubahan kurikulum. Mereka mengatakan bahwa kebanyakan
inovasi kurikulum disekolah adalah ‘pinjaman’ dan bukannya penemuan.
‘Peminjaman’ ini dilakukan dengan peniruan langsung atau mendatangkan personel
baru.
Bila menerapkan inovasi guru hanya
menerima insentif yang jumlahnya sedikit. Tetapi guru mendapat tentangan dari
berbagai pihak yang tidak mendukung suatu inovasi. Guru juga akan menghabiskan lebih banyak
waktunya saat menerapkannya. Jadi lebih nyaman dan aman buat guru untuk
mengikuti orang kebanyakan atau menjadi konvensional.
Administrator dipandang oleh ahli
sosiologi sebagai ‘orang yang ditengah’ yang memiliki kemungkinan kecil untuk
menjadi pemrakarsa perubahan. Tetapi
bukan berarti administrator tidak punya
peran.
Keputusan kurikulum yang ‘paling
berpengaruh’ dibuat ditingkat nasional, terutama yang berhubungan dengan
pendidikan karir, pendidikan anak usia dini
dan program program multicultural.
C. Enam
Fase Perubahan Kurikulum
Menurut Lippit, ahli psikolgi
social yang terkemuka, ada enam fase
perubahan kurikulum, yaitu:
1. Penggunaan
sumber sumber (resources) baru. Pertimbangannya adalah factor dukungan internal
dan eksternal pada siswa. Contoh dukungan internal, siswa harus menerima
kesempatan pembelajaran yang relevan dengan dunia mereka, nilai, ketertarikan
dan rasa ingin tahu mereka. Mereka harus mendapat umpan balik dari respon
mereka. Mereka harus belajar bagaimana cara belajar dan menyenangi pencarian
(penelitiannya) dan pengakhirannya. Pengembang kurikulum juga harus
memperhitungkan peran teman sebaya sebagai factor eksternal siswa.
2. Presentasi
sumber sumber baru
Penyusun
kurikulum seharusnya melibatkan guru dalam mengkaji ulang, mengevaluasi dan
mengeksplorasi relevansi materi baru. Guru juga seharusnya diberi kebebasan
untuk mengeksplorasi kecakapan baru yang diperlukan untuk mempelajari konsep dan
teknik baru dan berkolaborasi dengan perguruan tinggi baik dalam latihan maupun
belajar bersama. Kurikulum yang baru juga harus melengkapi guru dengan alat
untuk mendiagnosa respon kelas mereka dan untuk melibatkan siswa dalam
mengadaptasi kurikulum dan menciptakan prosedur prosedur baru.
3. Adopsi
sumber sumber baru. Keputusan adopsi oleh komite kurikulum sebaiknya melibatkan
pengambil keputusan yang tepat dalam mengkaji ulang alternative alternative
yang ada. Harus ada kajian terhadap criteria yang digunakan dalam pembuatan
keputusan dan rencana alternative alternative tes, mempertimbangkan kemungkinan
yang akan terjadi dan mempelajari respon pebelajar terhadap metode yang
digunakan. Pebelajar sebaiknya dilibatkan dalam evaluasi materi baru.
4. Penyelidikan
sumber sumber baru. Dalam penelitian untuk mendapatkan gagasan gagasan baru,
perencana kurikulum sebaiknya memulainya dari ‘rumah’. Mereka sebaiknya mereka
menghargai kurikulum kurikulum kreatif yang ‘tersembunyi’ di daerahnya.
Perencana sebaiknya juga mempertimbangkan neighboring school system (system
yang ada di lingkungan sekitar sekolah). Mereka sebaiknya menyelesaikan masalah
(rintangan) dengan sharing dengan
lingkungannya. Penyusun kurikulum juga sebaiknya melihat sumber sumber alam
yang ada.
5. Distribusi
sumber sumber baru. Difusi kurikulum juga bergantung pada tersedianya sumber
sumber belajar bagi guru. Guru harus memiliki kesempatan untuk mencapai
kecakapan menggunakan kurikulum baru. Mereka juga seharusnya memiliki
kesempatan mencoba agar tertarik dan merasa bebas untuk mengadaptasi bahan.
6. Pengembangan
sumber sumber baru . Materi baru bisa
dikembangkan oleh seluruh tim dalam sekolah, ide kreatif seorang guru atau staf
proyek penelitian dan pengembangan. Pengembangan kurikulum memerlukan indentifikasi tujuan yang diprioritaskan ,
inti pengetahuan, pengalaman yang terkait dengan isi, ketertarikan dan
kompetensi pebelajar. Guru seharusnya dibantu untuk memahami dan menggunakan
sumber sumber dan mengevaluasi bahan
dengan trampil sehingga kurikulum mengalami peningkatan secara kontinyu.
D. Strategi
Deskriptif Perubahan
Model model yang menggambarkan bagaimana
perubahan kurikulum yang terbaik di sekolah sering kali bertentangan satu sama
lain. Model riset dan pengembangan (R
dan D), misalnya, menggambarkan proses perubahan sebagai proses dari atas ke
bawah, sedangkan model pengembangan integrative mengawali dengan problem seorang guru dan kemudian ke
seluruh system sekolah. Ada bagian yang benar dari setiap model dan kita bisa
beruntung memahami semua.
Model
adopsi atau model R dan D
Model R dan D telah populer di
seluruh wilayah dan negara, karena model ini menggambarkan proses pengembangan
dan sekaligus penyebarannya. Model ini
menggunakan program, riset dan proyek pengembangan dari universitas,
laboratorium regional dan institusi institusi lain untuk mengembangkan paket
bahan bahan yang inovatif. Kemudian produknya di desiminasi ke populasi yang
luas. Untuk mengefektifan difusi diperlukan kesadaran pengguna akan manfaat dan
kegunaan produk. Model ini memerlukan fasilitator yang berperan seperti ‘penjual’
dan melatih personel sekolah. Inovator bersama pimpinan sekolah memonitor dan
membantu jika ada masalah selama penerapan kurikulum.
Kritik persuasive diberikan bagi
model ini karena ada yang menganggap tidak spesifik dasarnya dan dipengaruhi
oleh factor factor politis. Pengembang
model ini nampaknya memiliki asumsi bahwa komunikasi yang baik akan cukup.
Model ini juga dianggap tidak jelas dan terlalu optimis pada peran fasilitator.
Model
pengembangan integrative
Strategi dalam model pengembangan
integrative diawali dengan gurunya kemudian kelas dan mungkin juga ke
seluruh system sekolah. Kesulitan pendekatan ini adalah pada waktu dan kurang
kahlian untuk menangani prosedur hubungan manusia dan menghubungkan teori pada
masalah yang dipilih. Mengubah sikap dan kecakapan guru memerlukan waktu.
Membangun sikap sebagai peneliti awalnya lambat. Dan ada guru yang merasa
gelisah untuk terikat dalam kelompok penyelesai masalah.
Model
agen perubahan
Tidak adanya agen yang memicu
perubahan telah lama dipikirkan menjadi factor lambatnya adopsi inovasi di
sekolah. Dunia pendidikan mencatat temuan kesuksesan penyuluh pertanian dalam
menjadi agen perubahan untuk mempengaruhi petani agar memperbaiki praktek
bertaninya sesuai perkembangan teknologi. Ide untuk membentuk profesi serupa untuk
pendidikan telah sering muncul. Tetapi dunia pendidikan tidak seperti
pertanian, kesehatan atau dinas pemerintah lainnya.
Banyak perbedaan pendapat muncul
tentang siapa yang seharusnya jadi agen perubahan dalam implementasi kurikulum. Beberapa berpendapat bahwa kepala sekolah
pantas memerankannya karena memiliki otoritas di sekolah. Guru juga bisa
menjadi agen perubahan dengan imajinasinya didalam kelas. Orang yang khusus
diangkat menjadi pemrakarsa di sekolah’ atau ahli sosiologi diluar sekolah juga
bisa mendorong inovasi dengan bekerja dengan administrator dan guru.
Perubahan
dengan Non Model
David Shiman dan Ann Lieberman dengan timnya
melakukan pengamatan pada delapan belas sekolah selama lima tahun. Mereka
melihat tahap tahap dalam perubahan disekolah dengan pola: 1) Orang
membicarakan kemungkinan adanya perubahan. Harapan bertambah dan guru merasa
tertekan. 2) Beberapa guru mulai melakukan sesuatu. Mereka mencoba sendiri untuk membaca program.
3) Justifikasi terhadap aktivitas baru guru dimulai dengan pertanyaan: Mengapa
saya melakukan ini? Apakah ini lebih baik dari sebelumnya? 4) Masalah inovasi
baru meningkat. 5) Guru menanyakan
asumsi dasar program, Apakah relevansi program ini bagi anak anak? Apakah
metode mengajar saya konsisten dengan tujuan yang ingin kami capai?
Peneliti menyimpulkan bahwa inovasi
tidak harus diawali tujuan, prioritas, motivasi atau evaluasi seperti yang
disarankan oleh kebanyakan model.
E. Preskripsi
untuk Perubahan Kurikulum
Paul Nachtigal melaporkan hasil
proyek Ford Foundation Comprehensive School Improvement Plan dalam legitimasi
konsep inovasi di sekolah dan pada testing berbagai jenis inovasi.
Inovasi
akan terlaksana dengan baik jika jumlah sekolah dibatasi, tujuan dan tekniknya
sedikit dan jelas. Yang paling sukses
dan permanen apabila gangguannya minimum dalam sebuah sekolah atau sedikit
kelas. Faktor yang mendukung adalah keuangan dan komitmen dari penyandang dana.
Pengaruh akan lebih besar jika penerapan kurikulum dilakukan diseluruh
kabupaten. Kepemimpinan merupakan indicator penentu. Universitas sebagai
institusi tidak memiliki kekuatan untuk memperbaiki. Makin sederhana struktur
sekolah maka akan makin mudah inovasi diperkenalkan. Paling lama untuk
menerapkan inovasi biasanya di pinggiran kota dan banyak proses signifikan
untuk pengembangan kurikulum memerlukan input cendekiawan untuk memastikan
keilmiahannya, keahlian dalam metodologi
pembelajaran, evaluasi testing yang luas dan revisi, program untuk pelatihan
guru, dan diseminasi prosedur.
F. Generalisasi
dari dukungan perubahan kurikulum sekolah
James M. Mahan menyusun petunjuk untuk pelaksanaan perubahan
kurikulum. Dari hasil pengamatannya di lebih dari enam puluh sekolah dia
membuat generalisasi.
Bangun kondisi dengan menentukan
guru yang terlibat bantuan dari pihak luar. Kemudian pilih kurikulum inovatif
yang akan dikembangkan. Siapkan kelas untuk memperkenalkan kurikulum tersebut.
Sediakan sarana diperlukan termasuk juga
dukungan dari kepala sekolah dan bantuan konsultan. Monitor kurikulum dalam
kelas, apakah memberikan pengalaman belajar atau tidak. Pertahankan kurikulum
hingga telah percobaan selesai apabila dianggap tepat.
Untuk menjelaskan masalah yang ada
saat implementasi kurikulum hal yang diperlukan hanyalah refleksi dengan
pertanyaan: Berapa jumlah kurikulum baru yang akan diterapkan dalam satu tahun?
Pengaturan waktu dan staf berpengalaman yang diperlukan seharusnya seperti apa?
Haruskah berorientasi pada humanistic, teknologi atau mata pelajaran? Apakah
hubungan administrator dan guru diperlukan? Dengan cara apa sekolah dulunya
mendukung untuk inovasi sebelumnya?
G. Kesimpulan
Mengingat
kembali isi bab ini, berbagai persoalan menjadi jelas. Satu persoalan adalah
pendekatan inovatif kurikulum: sebaiknya dari sudut pandang penggunanya (guru
dan siswa) atau orientasi pengembang mengacu pada produk? Pemilihan rekomendasi
untuk menggunakan teknik penilaian kebutuhan, pendekatan problem-solving staf,
tindakan kelas dan guru sebagai agen perubahan juga membantu pemecahan persoalan.
Pemilihan manipulasi organisasi, struktur social, pendekatan system dan adopsi
model R dan D disisi lain juga membantu.
Persoalan
kedua adalah tentang nilai suatu teori sebagai petunjuk proses
implementasi. Beberapa orang percaya
bahwa praktek didahului teori dan karenanya lebih benilai untuk memandu
implementasi. Yang tidak setuju dengan pernyataan itu, yang percaya bahwa teori
tidak bernilai dalam mengarahkan perhatian para praktisi, melihat variable
variable dan konseptualisasi baru dari proses perubahan.
Mungkin
tidak terjadinya perkembangan bila hanya menggunakan satu model disebabkan kebanyakan
setting situasi implementasi kurikulum adalah spesifik. Dalam satu tempat, lingkungan social atau
kebijakan mungkin krusial mempengaruhi perubahan. Di tempat lain, dinamika
kelompok atau karakter individu mungkin paling penting. Model model perubahan yang diterima secara
luas dan sejarah inovasi juga hal hal yang harus dimiliki ahli kurikulum.
Yang
terakhir, kesepelean dan ketidakseriusan perubahan kurikulum dipengaruhi dari
sisi dalam dan sisi luar sekolah yang akan mengingatkan perlunya kita secara kontinyu mempertimbangkan
nilai inovasi yang diusulkan. Pembuat
keputusan seharusnya yakin apakah
kurikulum yang diusulkan akan menjadi yang terbaik untuk satu kelompok
pebelajar atau membantu pendidikan secara umum, berkontribusi pada tujuan
tujuan interpretif atau terapan, relevan pada kehidupan siswa setelah mereka
lulus dan terhubung dengan domain pengetahuan yang lain yang berikan oleh sekolah.
PUSTAKA
McNeil, John. D. 1977.
Curriculum A Comprehensive Introduction. Little Brown and Company. Boston
Toronto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar