Sabtu, 18 Februari 2012

MAKALAH : LANGKAH LANGKAH PENELITIAN

LANGKAH LANGKAH PELAKSANAAN PENELITIAN
Ada beberapa pendapat pakar tentang langkah langkah dalam penelitian. Arikunto (2006) membagi penelitian dalam 11 tahap yaitu: 1) memilih masalah, 2) studi pendahuluan, 3) merumuskan masalah, 4) merumuskan anggapan dasar dan atau hipotesis, 5) memilih pendekatan, 6) menentukan variable dan sumber data, 7) menentukan dan menyusun instrument, 8) mengumpulkan data, 9) analisis data, 10) menarik kesimpulan dan 11) menyusun laporan. Langkah ke -1 sampai dengan ke -6 merupakan kegiatan pembuatan rancangan penelitian. Langkah ke-7 sampai dengan ke-10 merupakan pelaksanaan penelitian dan langkah terakhir sama dengan pembuatan laporan penelitian.
Mason dan Bramble (1978) menyebutkan ada lima tahap penelitian. Yang pertama, peneliti tertarik dan merasa perlu melakukan penelitian. Yang kedua, peneliti memahami hal yang diteliti secara mendetail. Yang ketiga menyusun proposal. Yang keempat mengumpulkan dan menganalisa data. Yang kelima menulis laporan penelitian.
Meskipun dalam pembagiannya berbeda, namun sebenarnya pendapat tersebut memiliki kesamaan bahwa langkah penelitian diawali dari masalah yang dipilih untuk diteliti dan diakhiri dengan laporan untuk publikasi hasil.
A. PENGETAHUAN DAN KETERTARIKAN PADA PENELITIAN
Masalah yang dipilih harus menarik bagi si peneliti sendiri dan cocok dengan bidang kemampuannya. Untuk merencanakan penelitian yang bermakna, diperlukan komitmen karena itu diperlukan ketertarikan peneliti (Mason dan Bramble, 1978).
Masalah yang dipilih harus sesuai dengan kualifikasi peneliti. Sukar mudahnya masalah yang ingin dipecahkan harus sesuai dengan derajat ilmiah yang dimiliki peneliti. Jadi seorang doctor dengan seorang sarjana akan memilih masalah yang berbeda, sesuai derajat daya nalar, sensitivitas terhadap data, serta kemampuan peneliti dalam menghasilkan orisinalitas (Nazir, 2009).
Ada tiga persyaratan penting dalam mengadakan kegiatan penelitian yaitu sistematis, berencana dan mengikuti konsep ilmiah. Sistematis artinya dilaksanakan menurut pola tertentu, dari yang paling sederhana sampai kompleks hingga tercapai tujuan secara efektif dan efisien. Berencana artinya dilaksanakan dengan adanya unsure pemikiran langkah langkah pelaksanaannya. Cara cara dalam kegiatan penelitian mengikuti prinsip yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan.
Empat hal yang harus dipenuhi bagi terpilihnya masalah atau judul penelitian yaitu harus sesuai dengan minat peneliti, harus dapat dilaksanakan, harus tersedia factor pendukung dan harus bermanfaat. (Arikunto, 2006). Suatu topic dapat diteliti jika peneliti memiliki target partisipan yang bersedia membantunya dalam melakukan penelitian dan memiliki perangkat perangkat yang memadai dalam mengumpulkan dan menganalisis data dalam jangka waktu yang ditentukan (Creswell, 2010). Factor perlunya suatu penelitian dilakukan yang harus dipertimbangkan adalah apakah topic tersbut hanya sekedar menambah pengetahuan yang sudah ada, atau sekedar menduplikasi penelitian penelitian sebelumnya, atau menyuarakan kembali hak hak kelompok atau individu yang terpinggirkan atau berusaha mentranformasikan gagasan gagasan para penaliti sebelumnya. Peneliti juga harus tahu apakah ada orang lain diluar lembaga peneliti yang akan tertarik pada topic tersebut. Selain itu, layak tidaknya suatu topic diteliti juga berhubungan dengan cita cita peneliti.
B. MENGIDENTIFIKASI MASALAH
Masalah penelitian bisa diidentifikasi dari pengamatan terhadap kegiatan kegiatan manusia, pengamatan terhadap alam sekitar, bacaan dan ulangan serta perluasan penelitian, cabang studi yang sedang dikerjakan, pengalaman dan catatan pribadi, praktik serta keinginan masyarakat, bidang spesialisasi, pelajaran dan mata ajaran yang sedang diikuti, diskusi diskusi ilmiah dan perasaan intuisi (Nazir, 2009).
Setelah memilih masalah, langkah selanjutnya adalah mengadakan studi pendahuluan dengan cara membaca literature,baik teori maupun penemuan (hasil penelitian terdahulu) atau mendatangi ahli ahli atau manusia sumber untuk berkonsultasi dan memperoleh informasi.
C. MENYUSUN PROPOSAL
Proposal atau usulan penelitian perlu dibuat oleh calon peneliti dengan maksud memberikan pedoman kerja peneliti dan atau meminta bantuan dana kepada sponsor.
Proposal merupakan rencana penelitian. Proposal terdiri dari tiga bagian yaitu judul, pendahuluan dan metode penelitian. Judul adalah ringkasan proposal itu sendiri, yang menyatakan variable, hubungannya dan populasi yang diambil sampelnya untuk diteliti (Mason & Bramble, 1978). Judul sebaiknya singkat dan memuat 12 – 15 kata dan mengidentifikasi variable dan subyek penelitian (Setyosari,2007) Menurut Wilkinson dalam Creswell (2010) judul sebaiknya tidak lebih dari 12 kata, tidak menggunakan kata sandang atau preposisi yang berlebihan dan mencakup topic utama penelitian. Contoh Judul: Pengaruh Metode pembelajaran dan Motivasi Berprestasi Terhadap Hasil Belajar Teknologi Pasca Panen Siswa SPP Pelaihari.
Maxwell dalam Creswell (2010) berpendapat bahwa suatu proposal penelitian dibentuk dari beberapa argumentasi utama, yaitu:
1. Apa yang dibutuhkan pembaca untuk memahami topic peneliti dengan mudah?
2. Apa yang sudah diketahui pembaca mengenai topic penelitian?
3. Apa yang diharapkan peneliti dalam penelitiannya?
4. Rancangan seperti apa yang akan digunakan dan siapa orang yang ingin diteliti?
5. Metode apa yang ingin digunakan untuk menyajikan data?
6. Bagaimana peneliti akan menganalisis data?
7. Bagaimana peneliti akan memvalidasi penemuan penemuannya?
8. Masalah masalah etis apa saja yang akan disajikan oleh peneliti?
9. Apakah hasil hasil sementara sudah menunjukkan bahwa penelitian yang diajukan ini bermanfaat dan bisa diterapkan?
Pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,hipotesis penelitian (jika ada) dan kegunaan atau pentingnya penelitian. Latar belakang mengemukakan mengapa peneliti merasa perlu melakukan penelitian. Kemudian peneliti mengemukakan masalah, tujuan dan hipotesis penelitian (jika ada). Rumusan masalah dalam penelitian kuantitatif biasanya berupa pertanyaan tentang hubungan antara variable variable yang akan dianalisis oleh peneliti. Sedangkan hipotesis merupakan prediksi prediksi yang dibuat peneliti tentang hubungan antar variable yang diharapkan oleh peneliti.
Paparan kajian literature disesuaikan dengan masalah masalah yang ingin dipecahkan lewat penelitiannya.
Langkah langkah untuk melakukan tinjauan pustaka yang disarankan oleh Creswell (2010):
1. Mulailah dengan mengidentifikasi beberapa kata kunci penelitian
2. Setelah kata kunci diperoleh, kunjungilah perpustakaan dan mulailah mencari catalog untuk materi materi referensi (seperti jurnal dan buku)
3. Cobalah menemukan sedikitnya 50 laporan penelitian, seperti artikel atau buku buku yang berhubungan dengan penelitian
4. Bacalah sepintas sekumpulan artikel atau bab bab dalam buku, lalu salinlah/ gandakanlah bab bab atau artikel yang relevan dengan topic penelitian
5. Ketika mengidentifikasi beberapa literature, mulailah merancang peta literature
6. Setelah membuat peta literature, buatlah ringkasan dari beberapa artikel yang paling relevan
7. Ringkasan yang sudah diperoleh disusun secara tematis atau berdasarkan konsep konsep penting untuk dibuat tinjauan pustaka
Pada metodologi, rancangan dipilih dan ditetapkan untuk memberikan arah bagi peneliti untuk melakukan penelitiannya. Peneliti menjelaskan subyek penelitiannya, instrument yang dipilihnya, cara mengumpulkan data penelitiannya dan analisa data yang akan digunakan dalam penelitiannya. (Setyosari, 2007)
D. MENGUMPULKAN DAN MENGANALISA DATA
Data dikumpulkan sesuai prosedur yang telah tertulis pada proposal. Apabila metode yang dipilih telah benar benar dipertimbangkan, maka pengumpulan data tidak sulit ( Mason and Bramble, 1978)
Data yang diungkap dalam penelitian dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: fakta, pendapat dan kemampuan. Untuk mengukur ada atau tidaknya serta besarnya kemampuan objek yang diteliti digunakan tes.
Kuisioner juga bisa dipilih untuk mengumpulkan data. Prosedur yang dilalui untuk menyusun kuisioner yaitu: 1) merumuskan tujuan yang akan dicapai dengan kuisioner, 2) mengindentifikasikan variable yang akan dijadikan sasaran kuisioner, 3) menjabarkan setiap variable menjadi sub variable yang lebih spesifik dan tunggal dan 4) menentukan jenis data yang akan dikumpulkan , sekaligus untuk menentuan teknis analisanya. Pemilihan responden kuisioner juga perlu mendapat perhatian.
Bila menggunakan metode interview, isi jawaban responden yang diterima peneliti bisa dipengaruhi oleh sikap peneliti pada waktu datang, sikap duduk, kecerahan wajah, tutur kata, keramahan, kesabaran serta keseluruhan penampilannya.
Bila menggunakan metode observasi, cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrument. Format yang disusun berisi item item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi.
Bila menggunakan metode dokumentasi, peneliti bisa menggunakan chek-list untuk mencari variable yang sudah ditentukan. Apabila terdapat variable yang dicari, maka penelit tinggal membubuhkan tanda chek ditempat yang sesuai.
Setelah data terkumpul, maka peneliti melakukan analisis. Sebagai persiapan analisis, lebih dahulu peneliti melakukan: 1)mengecek nama dan kelengkapan identitas pengisi, 2) mengecek kelengkapan data dan 3) mengecek macam isian data.
Kegiatan selanjutnya adalah tabulasi. Dalam hal ini peneliti : 1) memberikan skor terhadap item item yang perlu diberi skor, 2) memberikan kode terhadap item item yang tidak diberi skor, 3) mengubah jenis data, disesuaikan atau dimodifikasikan dengan teknik analisis yang akan digunakan , 4) memberikan kode jika pengolahan data dilakukan dengan computer.
Data kuantitatif dalam penelitian penelitian korelasional, komparatif, atau eksperimen diolah dengan rumus rumus statistic yang sudah ada. Untuk penelitian deskriptif di presentase dan komparasikan dengan kinerja yang telah ditentukan
E. MENULIS LAPORAN
Menurut Arikunto (2006), sebenarnya akan jauh lebih efisien apabila pekerjaan menulis dimulai dari sejak penelitian dimulai. Peneliti mulai menuliskan apa yang perlu dituliskan walaupun dalam bentuk kertas lepas lepas.(system kartu).
Bentuk pelaporan sangat tergantung pada jenis pembaca yang ditargetkan. Secara umum, hasil penelitian dapat ditujukan kepada tiga jenis konsumen yaitu: 1) masyarakat umum, 2) sponsor penelitian dan 3) masyarakat ilmiah (Nazir, 2009). Menurut Burrough dalam Arikunto ( 2006) perbedaan format bukan hal yang penting untuk dipermasalahkan. Yang penting untuk diperhatikan adalah:
1. Bahwa pembaca dapat memahami dengan jelas apa yang telah dilakukan oleh peneliti, apa tujuannnya dan bagaimana hasilnya
2. Bahwa langkah dan medanya jelas sehingga pembaca dapat mengulangi proses penelitian itu apabila ia menghendaki
Tesis dan disertasi biasanya dipresentasikan difakultas dengan bentuk laporan yang terinci. Untuk penelitian yang menggunakan dana hibah, laporan disampaikan dengan lengkap setelah penelitian selesai. Hasil penelitian yang dimuat dijurnal biasanya lebih singkat dari kedua laporan tersebut.( Mason and Bramble, 1978)
Menurut PPKI UM (2010), bagian inti skripsi, tesis dan disertasi hasil penelitian kuantitatif ada dua alternative:
1. Bab I : Pendahuluan, Bab II Metode Penelitian, Bab III Hasil Analisis, Bab IV Pembahasan dan Bab V Penutup
2. Bab I Pendahuluan, Bab II Kajian Pustaka, Bab III Metode Penelitian, Bab IV Hasil Analisis, Bab V Pembahasan dan Bab VI Penutup
Untuk hasil penelitian kualitatif juga ada dua alternative yang bisa digunakan yaitu:
1. Bab I Pendahuluan, Bab II Metode Penelitian, Bab III Paparan Data dan Temuan Penelitian, Bab IV Pembahasan dan Bab V Penutup
2. Bab I Pendahuluan, Bab II dan seterusnya memuat hasil hasil penelitian yang diperolah. Judul dan isi masing masing bab disesuaikan dengan topic dan hasil penelitian, termasuk pembahasannya
Apabila penelitian yang dilakukan adalah penelitian pengembangan maka format laporan yang bisa dipilih adalah:
1. Bab I Pendahuluan, Bab II Metode Penelitian dan Pengembangan, Bab III Hasil dan Bab IV Kajian dan Saran
2. Bab I Pendahuluan, Bab II Kajian Pustaka, Bab III Metode Penelitian dan Pengembangan, Bab IV Hasil dan Bab V Kajian dan Saran


DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI .Jakarta . PT Rineka Cipta.
Creswell, J.W. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Edisi Ketiga. Yogyakarta. Pustaka pelajar.
Mason, E.J. and Bramble, W.J. 1978. Understanding an Conducting Researh/ Aplication in Education and The Behavioral Sciences, Mc. Graw-Hill Book Company.
Nazir, Moh. 2009. Metode Penelitian. Cetakan ke tujuh. Jakarta Ghalia Indonesia.
Tim, Penyusun. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Negeri Malang.

Minggu, 12 Februari 2012

Membuat Chicken Nugget

Bahan
300 gram daging ayam giling
150 gram tepung roti
100 gram keju cheddar parut (bisa diganti dengan 50 gram tapioka)
3 butir telur ayam
Bumbu
3 siung bawang putih haluskan
1/4 sdt lada
penyedap bila suka
garam secukupnya
Langkah pembuatan
1. Kocok 2 butir telur
2. Tambahkan lada, bawang dan penyedap. kocok lagi.
3.Masukkan daging giling, keju dan 50 gram tepung roti
4. Aduk adonan kemudian cetak di loyang
5. Kukus 30 menit
6. Angkat. Potong sesuai selera.
7. Kocok 1 butir telur . gunakan untuk mencelupkan potongan nugget.
8. Gulingkan di sisa tepung roti
9. Masukkan freezer selama  minimal 1 jam
10. Nugget siap digoreng.







konsolidasi pembelajaran asosiatif

KONSOLIDASI PEMBELAJARAN ASOSIATIF

Setelah seseorang belajar, ada beberapa factor yang mempengaruhi lama tidaknya hasil belajar itu bertahan pada dirinya. Faktor factor itu disebut konsolidasi pembelajaran. Prinsip prinsip #2.3 dan 2.4 ( frekuensi dan penguatan) menjadi dasar pembahasan prinsip prinsip konsolidasi berikut.

Pengetahuan tentang respon respon yang tepat, penguatan

2.32. Apabila guru memberikan stimuli kedua (S2) segera setelah pebelajar melakukan tindakan (R) maka sangat mungkin tindakan itu diulang sesuai konteks yang ada. Artinya sangat mungkin S1 dan R menjadi terhubung ( yang berarti ada proses pembelajaran) karena adanya S2 sebagai konsekuensi.

Prinsip ini mengkombinasikan dua prinsip dasar yang sebelumnya didiskusikan, yaitu “hubungan” dan “ efek atau konsekuensi”. Inilah yang disebut instrumental conditioning.

Jika dibandingkan dengan classical conditioning, pada instrumental conditioning guru bisa mengontrolnya. Misalnya dengan tersenyum atau mengatakan ,” benar” atau “ bagus” guru sudah memperkuat pembelajaran dengan konsekuensi dan penguatan. Media lain (seperti film, tv, buku dan lainnya) tidak bisa memberikan konsekuensi dan penguatan.

Ada dua macam penguatan yaitu penguatan contingent (tergantung) dan non contingent. Tujuannya adalah memberi penguatan pada pebelajar hanya jika mereka menunjukkan tingkah laku yang diharapkan oleh guru. Jika guru tersenyum dan mengangguk hanya saat pebelajar menjawab dengan benar, maka dia sudah memberikan penguatan contingent. Penguatan seperti ini sangat jarang ada pada media lain kecuali pembelajaran terprogram.

Penguatan non contingent bisa diberikan setelah keseluruhan pelajaran atau presentasi yang menarik atau hal lain yang memiliki konsekuensi positif bagi pebelajar tanpa menghiraukan respon mereka. Penguatan non contingent merupakan konsep yang lebih umum, yang tidak bisa dibedakan dengan teknik teknik pemberian “motivasi” lainnya.

Intinya, pemberian penguatan yang selektif memang tepat saat pebelajar memberikan respon sesuai keinginan guru Pemakaian penguatan umumnya bertujuan agar proses pembelajaran jadi semakin baik.

Banyak penelitian terkait dengan programmed instruction (PI), menunjukkan tidak adanya efek positif penguatan. Hal ini karena kadang pebelajar “mengintip” jawaban sebelum memberikan respon.

Masalah utama dalam perencanaanya adalah: Jenis stimuli apa yang memperkuat? Jelaslah bahwa banyak stimuli dalam pembelajaran yang bisa saja tidak memperkuat. Tetapi banyak juga yang memperkuat.

Aspek aspek yang bersifat memotivasi seperti pujian atau reward yang nyata merupakan hal yang penting untuk anak anak yang ‘prestasinya kurang’ dan pada anak yang ‘prestasinya sedang’ lebih baik diberi informasi tentang manfaat pembelajarannya.

Penguatan dapat dianggap sebagai kebutuhan dasar atau penyemangat. Ada banyak penyemangat, tetapi disini hanya disebutkan beberapa penguatan yang dianjurkan. Diluar kebutuhan fisiologis seperti makanan, ada banyak kebutuhan lain seperti kebutuhan untuk menjalin hubungan atau kontak social, perlunya status atau penghargaan, perlunya prestasi. Ada juga bukti penelitian bahwa manusia mencari berbagai macam pendorong dan memiliki ketertarikan internal pada permainan seperti teka teki dan persoalan (Berelson and Stiner, 1964).

Permasalahan dasar dalam mengatur penguatan contingent adalah penentuan waktu dan frekuensi. Seberapa cepat penguatan harus diberikan setelah R yang diiginkan sudah dilakukan? Proporsi Rs yang seperti apa yang harusnya diperkuat? Prinsip prinsip berikut berhubungan dengan penentuan waktu.

2.32a. Secara umum, penguatan diberikan sesudah respon (R) yang dinginkan guru dibuat oleh pebelajar. Hal ini memudahkan dalam mengidentifikasi dan menghubungkannya dengan stimulus. Apabila penguatan ditunda harus diingat bahwa pebelajar mengetahui manfaat tindakanya.

Meski ada bukti bahwa penguatan langsung setelah tindakan dilakukan lebih efektif dibandingkan penguatan tak langsung. Tetapi nyatanya manusia belajar untuk bekerja dimana penguatannya ( penghargaan atau hasilnya) ditunda. Mungkin factor yang penting adalah bahwa seseorang sadar bahwa tingkah lakunya membuatnya mendapatkan penguatan atau konsekuensi.

Kata kata guru seperti , “ okey”, “kerja yang bagus” atau “pikiran yang bagus” sesudah siswa menjawab secara lisan, adalah contoh penguatan langsung. Sedangkan komentar yang diberikan pada makalah yang dikembalikan sehari setelah siswa mengumpulkannya adalah contoh penguatan tertunda. Pembelajaran terprogram dan pembelajaran berbasis komputer (CAI) dibuat bisa memberi penguatan langsung sedangkan buku dan film tidak. Tetapi dalam diskusi kelas yang menggunakan buku dan film, guru bisa menjadi mediator dan memberikan penguatan.

Ada bukti yang menentang penguatan langsung. Penguatan yang ditunda 2 hingga 24 jam akan menghasilkan ingatan dan penyerapan/pemahaman ( recall and retention) yang lebih tinggi dibandingkan yang penguatannya diberikan secara langsung. Bukti didapat dari beberapa pembelajaran sain dan ilmu social dengan tingkat kesulitan sedang. Mungkin penguatan langsung akan lebih efektif jika materi lebih sulit.

Sebagai tambahan untuk pertimbangan dalam menentukan waktu yang tepat untuk memberikan penguatan adalah frekuensi.

2.32b. Secara umum, saat pembelajaran materi baru sangat sesuai bila guru memberi penguatan pada jawaban yang benar

Pada saat pembelajaran materi baru atau selama pembelajaran materi yang sulit siswa perlu didorong dan hasil kerjanya dikoreksi langsung. Tingginya kepercayaan diri siswa akan makin meningkatkan prestasi siswa.

Latihan, aplikasi dan review

Prinsip # 2.3 menekankan pengulangan pelajaran, makin sering makin baik. Prinsip # 2.21 menunjukkan perlunya latihan. Prinsip #2.30 menunjukkan pentingnya aktivitas belajar.

2.33. Umumnya kecakapan psikomotor dan pembelajaran hafalan membutuhkan lebih banyak latihan untuk konsolidasi dibandingkan pembelajaran konsep atau prinsip/asas.

Misalnya, untuk memiliki kompetensi memainkan alat music dengan baik seseorang memerlukan latihan bertahun tahun dan perlu latihan teratur terus menerus agar hasilnya lebih sempurna. Sebaliknya, untuk mempelajari konsep tentang lapisan bumi mungkin siswa hanya perlu membaca definisi dan melihat gambarnya, tidak perlu latihan. Tentu saja, pengalaman mengidentifikasi batuan dilapangan , mengobservasi pergeserannya dll, sangat memperkaya konsep tetapi tidak akan mengubah definisi dasar.

2.34 Umumnya, semakin baru materinya semakin membutuhkan banyak waktu untuk latihan dan lebih banyak waktu untuk pengulangan

Prinsip ini sangat cocok dengan prinsip #2.32b, yang merekomendasikan guru untuk lebih sering memberikan penguatan pada pembelajaran materi baru. Beberapa penulis melihat kemungkinan bahwa penguatan merupakan alasan utama perlunya latihan.

2.35. Umumnya, latihan dalam berbagai konteks dapat meningkatkan retensi materi pembelajaran dan memperluas penggunaannya

Pengaruh latihan terhadap tingkat retensi dijelaskan dalam persyaratan S-R karena hubungan R dengan berbagai aspek S membuat R lebih mungkin untuk diingat.

Efek yang serupa seperti transfer dan generalisasi, terjadi saat beberapa stimulus yang berbeda tapi mirip diberikan pada pebelajar. Sebagai konsekuensinya, pembelajaran ditransfer dan digeneralisasi ke situasi yang berbeda dan kegunaanya diperluas.

Transfer kadang juga dianggap sebagai konsekuensi alami dari materi yang dipelajari dengan baik.

2.36. Transfer lebih mudah bila situasi pembelajaran disesuaikan dengan situasi tes atau aplikasinya atau pembelajaran kontekstual (sesuai realitas)

Tidak semua konsekuensi transfer atau generalisasi bersifat positif. Generalisasi seringkali berlebihan (sehingga tidak tepat) karena R tidak sesuai dengan konteks yang baru. Apabila hal ini terjadi, diskriminasi harus dipelajari.

PEMBELAJARAN DISKRIMINASI

Saat dihadapkan pada sekumpulan objek stimulus, pebelajar bisa mengelompokkannya (membentuk sustu konsep) dan menunjuk pada tiap item dalam kelompok tersebut dengan nama yang sama (berdasarkan ekuivalensi yang diperoleh), dan dia dapat membedakan antar obyek dengan nama yang berbeda (membuat diskriminasi. Untuk membedakan dua benda adalah dengan membedakan keduanya.

Kita cenderung memisahkan obyek, kejadian dan ide ide kedalan kesatuan atau pengelompokan yang dapat dibedakan , dengan mengidentifikasi kemiripan, konsistensi, dan keteraturan serta mengamati perbedaan, ketidak sesuaian dan ketidak teraturan yang ada diantara obyek tersebut.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemiripan item stimulus mempermudah asosiasi sementara perbedaan item mempermudah diskrriminasi. Baik asosiasi maupun diskriminasi akan lebih sulit apabila item makin banyak.prinsip prinsip yang berlaku pada asosiasi juga berlaku pada diskriminasi. Misalnya, pembelajaran diskriminasi dipermudah dengan latihan, pentingnya feedback (umpan balik) dan penguatan dan lain lain.

2.37. Deskriminasi paling mudah dipelajari apabila ada banyak perbedaan pada contoh contoh (stimulus) yang diberikan

2.37 a. Perbedaan bisa dimaksimalkan dengan menyempurnakan criteria suatu contoh, menambah jumlah criteria dan mengeliminasi fitur fitur yang bukan criteria

2.37 b. Latihan sebaiknya dimulai dari contoh yang paling berbeda dan diteruskan dengan yang lebih sedikit perbedaannya

2.38. Pembelajaran sebelumnya menggunakan sesuatu yang memiliki criteria tertentu yang berhubungan dengan materi pembelajaran memudahkan pembelajaran deskriminasi.

Mungkin prinsip asosiasi yang paling banyak dipertanyakan pada pembelajaran diskriminasi adalah stimulus continguity. Beberapa penulis menegaskan bahwa pembelajaran asosiasi lebih mudah saat item itemnya diletakkan berdampingan dan berdekatan satu sama lain. Tujuannya adalah membuat perbedaan semakin jelas. Sementara penulis lain berpendapat bahwa karakteristik item item tersebut harus dipelajari pada situasi , di ruang dan waktu yang terpisah dan tidak berdekatan untuk mencegah kerancuan.

Misalnya pada pembelajaran huruf ‘m’, sebaiknya diajarkan secara terpisah sampai kompetensi memadai. Setelah itu baru dikenalkan dengan huruf ‘n’ yang harus dideskriminasi.

Tergantung pada teori yang diikuti atau pertimbangan dalam praktek , seorang perancang lebih memperhatikan pada fitur fitur untuk dideskriminasikan.

PEMBELAJARAN OBERVASIONAL (PENGAMATAN) DAN KETRAMPILAN MOTORIK (GERAK)

Penelitian tentang peniruan dan peneladanan menuntun pemahaman kita pada satu jenis pembelajaran yang disebut pembelajaran pengamatan.

2.39. Mengamati tindakan tindakan orang lain (model) dapat mendorong pemerolehan pengetahuan baru , menghambat atau mempermudah pengetahuan sebelumnya.

Pembelajaran pengamatan memiliki cakupan yang luas, mulai dari pengetahuan kognitif, tingkah laku pro dan anti social, pemahaman ras dan peran “ dianggapnya sesuai” jenis kelamin dan terjadi dari anak TK hingga orang dewasa.

2.40. Peniruan oleh anak dipengaruhi oleh cara pengasuhan model (, misalnya orang tua, kakak, baby sitter dll) dan dengan mengamati konsekuensi atau akibat dari tingkah laku model. Apabila melihat hukuman, peniruan tingkah laku menjadi terhambat.

Pembelajaran pengamatan sangat penting dalam pemerolehan kecapakan social. Menurut beberapa penulis, contoh observasi ini adalah saat awal seorang anak belajar bahasa.

Untuk ketrampilan sederhana, seseorang bisa saja mendapatnya dari mengamati tetapi untuk ketrampilan yang kompleks tidak cukup hanya dengan pengamatan.

2.41. Pembelajaran ketrampilan biasanya memerlukan pengetahuan dan kemudian dilanjutkan dengan praktek dan kecakapan menerapkannya. Pengetahuan bisa diperoleh dengan informasi verbal dan atau mengamati model, dan tetapi kecakapan dalam bertindak memerlukan latihan dan kadang latihan yang intensif.

Konsepsi lama tentang belajar motorik menekankan pada penggabungan gerakan gerakan yang terpisah (dengan banyak latihan). Setiap gerakan akan diikuti dengan gerakan lainnya, yang mungkin menjadi stimulus bagi respon berikutnya menjadi suaru rangkaian. Pelatihan terfokus pada pembentukan hubungan antar gerakan dengan melakukan latihan.

Konsepsi baru ( Posner dan Keele, 1973) menekankan pada proses yang levelnya lebih tinggi disebut program program motorik seperti representasi igatan seluruh pola gerakan. Pada awalnya gerakan dilakukan dengan sadar, terhenti henti dan akan banyak lebih baik bila disertai umpan balik ( visual dan kinestetik). Gerakan berikutnya akan lebih lancar dan tidak perlu terlalu focus.

Konflik antar konsepsi ini tidak terselesaikan, jadi prinsip prinsip itu tidak cukup memadai untuk diterapkan. Tetapi, analisa prosedur tugas atau kecakapan ( digambarkan dalam Duncan, 1972: dan Anderson and Faust, 1973) berguna untuk membuat seseorang bisa melakukan gerakan sesuai urutan, gerakan yang paling sulit dan mengatasi berbagai macam kesulitan yang mungkin ditemui.

Prisnsip prinsip memory pada pembelajaran pengamatan yang juga bisa diterapkan adalah frekuensi, contiguity (hubungan), penguatan, latihan, pengetahuan yang dihasilkan dan bagian dari keseluruhan pembelajaran.

Didasarkan hal tersebut, pembelajaran pengamatan sulit dibedakan dengan bentuk pembelajaran lain saat stimulusnya diamati oleh pebelajar. Perbedaan pemakaiannya lebih terletak pada stimulus (perlaku model) disbanding aksi yang diamati. Selain itu, baik ada tujuan maupun tidak, pembelajaran pengamatan lebih sering terjadi diluar kelas formal daripada didalam kelas. Dalam situasi social, masing masing dari kita berpotensi jadi partisipan, baik sebagai model maupun sebagai pengamat model.

Selain itu, pembelajaran ketrampilan kognitif seperti visualisasi bisa juga merupakan konsekuensi dari pengamatan berulang ulang dari suatu pekerjaan dan kemudian menjadi karakter (menginternilasikannya).

Dalam pengertian yang lebih luas, banyak pembelajaran konsep yang didasarkan pada pengamatan pebelajar terhadap keteraturan dan variasi ( perbedaan perbedaan ) dalam kehidupannya

DAFTAR PUSTAKA

Fleming, Malcolm and W. Howard Levie. 1978. Instructional Message Design. Prinsiples from the behavioral sciences. Englewood cliff, New Jersey.

Widyatama, Tim. 2010. Kamus Psikologi. Widyatama, Jakarta .

Selasa, 07 Februari 2012

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN


MAKALAH  MODEL PEMBELAJARAN : PELATIHAN
A.   PENDAHULUAN
SPP sebagai salah satu sekolah kejuruan bidang pertanian menitik beratkan kurikulumnya pada pembelajaran ketrampilan.  Apapun jenis kurikulum yang pernah diterapkan di SPP, pembelajaran ketrampilan selalu ada di SPP.
Salah satu model pembelajaran yang sesuai untuk mengajarkan ketrampilan adalah model pelatihan (Training Model).  Training model bukanlah model pembelajaran baru, yang bahkan mungkin sudah diterapkan sebagian atau seluruhnya oleh para guru SPP.  Tetapi mungkin penerapan itu tanpa pengetahuan tentang teori teori yang mendukung model itu dan hanya diajarkan karena “ begitulah dulu guru itu diajar”.
Tidak banyak tulisan baru tentang model pembelajaran ini.  Mungkin karena telah banyak model pembelajaran baru yang dianggap efektif untuk diterapkan.  Tetapi training model masih menjadi model yang banyak digunakan, terutama oleh para pelatih dan guru olah raga, instruktur pada kursus ketrampilan,widya iswara pada pelatihan teknis dan lain lain.
B.   DUKUNGAN TEORITIS
Training model adalah salah satu model pembelajaran yang didasari pemikiran behavioristik.  Dalam training model, observasi dan latihan adalah alat untuk  mencapai perilaku baru dan mengeliminasi yang sudah ada.  Kontrol stimulus dan feed back juga selalu ada dalam pembelajaran model ini.
Stimulus adalah berbagai kondisi, kejadian atau perubahan di  lingkungan seseorang yang menyebabkan perubahan pada diri seseorang.  Stimulus bisa verbal (lisan dan tertulis) atau fisik.
Bagian pokok atau inti dari training model adalah logika dan teknik teknik yang bisa mengeliminasi perilaku dengan cepat.  Oleh karena itu hampir tidak mungkin kalau guru tidak menggunakan cara yang sistematis pada saat aplikasi model ini.
Menurut Gagne (1982), kondisi eksternal untuk pembelajaran ketrampilan (motor skill) adalah dengan instruksi verbal, gambar, demonstrasi, praktek dan umpan balik. Sifat umpan balik berbeda tergantung pada proses belajar yang dilakukan. Sedangkan menurut toeri Anderson dalam Dahar (1988), urut urutan aksi dipelajari dengan cara: Mula mula si pelajar menyajikan suatu urutan aksi aksi dalam bentuk deklaratif . Lalu berkembang suatu penyajian procedural dari urutan aksi dengan pengalaman dalam mencoba menghasilkan urutan aksi.


C.   TRAINING MODEL: DESAIN, DEMONSTRASI, PRAKTEK / LATIHAN DAN UMPAN BALIK
1.      Orientasi Model
Pada akhir tahun 1950an empat aliran pemikiran bergabung untuk menemukan pendekatan penyelesaian permasalahan pengorganisasian pendidikan dan pelatihan.  Keempat cabang pemikiran itu adalah psikologi pelatihan (training psychology), psikologi sibernetika (cybernetic psychology), analisis sistem (systems analysis) dan psikologi tingkah laku (behavioral psychology).
Psikologi pelatihan menekankan pada analisis tugas dan desain hubungan komponen komponen pelatihan; psikologi sibernetika focus pada dinamika umpan balik dan self regulation, pengembangan system menekankan pada analisa terhadap system dan behavioris menekankan pada demonstrasi dan prakteknya.
Psikologi Pelatihan.  Cabang pemikiran pertama yang merupakan hasil riset tentang situasi pelatihan yang kompleks yang dikembangkan sebagai reaksi atas sedikitnya teori tentang itu. Psikologi pelatihan focus pada aktivitas dimana orang menampilkan fungsi fungsi yang perlu dikerjakan dengan ketepatan tinggi dan unujuk kerjanya harus benar benar tepat karena menentukan keselamatan diri sendiri maupun tim.  Banyak pelatihan dikembangkan dalam merespon kebutuhan kemiliteran seperti pelatihan untuk anggota kru penyelam atau bomber.  Waktu pelatihan untuk ketrampilan ini biasanya singkat dan sangat memerlukan koordinasi tingkat tinggi antar anggota.  Kesalahan salah satu anggota bisa membahayakan diri sendiri, anggota yang lain atau bahkan bisa menyebabkan gagalnya suatu operasi militer.
Para psikolog menemukan bahwa diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks daripada stimulus-respon-reinforcement untuk pelatihan yang komplek semacam itu. Maka lahirlah satu cabang psikologi yang kemudian disebut psikologi pelatihan.
Psikologi pelatihan berkonsentrasi pada pengkonsepan tujuan dan hal yang harus dilakukan (tugas) saat unjuk kerja, memerinci tugas tugas menjadi komponen komponennya, mengembangkan komponen komponen pelatihan untuk memastikan tercapainya masing masing sub komponen dan mengatur keseluruhan situasi pembelajaran menjadi suatu urutan yang memastikan akan adanya transfer dari suatu komponen ke komponen lain dan bahwa pembelajaran yang menjadi prasyarat akan dicapai sebelum pembelajaran yang lebih sulit.  Seperti psikologi tingkah laku, psikologi pelatihan juga menaruh perhatiannya pada perincian dan pengurutan/perangkaian tingkah laku dan juga membentuk perilaku untuk prestasi atau unjuk kerja terbaik.  Psikologi pelatihan juga mementingkan reinforcement dan umpan balik tetapi kontribusi utamanya adalah pada desain pembelajaran.
Psikologi sibernetika.  Adalah cabang pemikiran yang dikembangkan selama perang dunia kedua dan sangat dekat dengan riset pelatihan yang bisa juga dianggap sebagai cabangnya, yang didasarkan pada konseptualisasi manusia secara teknis.  Manusia seperti mesin elektronik, system sibernetika, yang menggunakan proses sensory terhadap umpan balik untuk mengontrol dan memodifikasi tingkah lakunya sendiri.
Ahli psikologi sibernetika sering kali menggunakan peralatan sebagai simulator untuk mempelajari tingkah laku manusia dan sebagai bagian dari system pelatihan.
Karena manusia dipahami sebagai “system yang bisa mengoreksi diri sendiri”, maka manusia memerlukan informasi tentang kemampuannya.  Informasi diperlukan bukan hanya tentang hasil tetapi juga sampai dimana level kecakapannya. Desainer pembelajarannya (pelatih) ingi memberikan umpan balik secepatnya dan  agar peserta bisa mengetahui letak kesalahannya. Umpan balik yang tidak akurat atau menyesatkan  dapat membuat hasilnya buruk. Dan umpan balik yang segera diberikan dianggap lebih efektif dibandingkan yang tidak langsung.
Desain system.  Cabang pemikiran ketiga yang sangat dekat dengan psikologi pelatihan dan psikologi sibernetika adalah pengembangan system. Makin bertambahnya ahli psikologi perencana pelatihan, kemiliteran, perindustrian dan pendidikan dan desainer peralatannya menimbulkan kesadaran bahwa setiap tingkah laku orang  menjalankan salah satu bagian system yang terorganisasi.
Sistem ini tidak hanya terdiri dari manusia ‘yang bertingkah laku’ tetapi juga sebagai bagian dari system organisasi, bersama dengan mesin dan system komunikasi membentuk organisasi, cara cara personel disebarkan dan jenis jenis pelatihan yang digunakan. Desainer sekarang enggan mengembangkan peralatan tanpa mengkonseptualisasikannya sebagai bagian dari system manusia-mesin - melihat bagaimana kecocokan dengan mesin yang lain, dengan manusia sebagai operatornya dan dengan komunikasinya.
Dengan pikiran yang sehat, desainer merencanakan untuk membuat mesin yang bisa dioperasikan oleh banyak orang.  Pendekatan system membuat desain dengan melihat semua komponen, memadukan sumber yang tersedia dengan kebutuhan.
Intisari dari analisis system adalah membuat model yang menggambarkan keseluruhan organisasi. Dalam perencanaan system yang pertama dibuat adalah indentifikasi system secara keseluruhan, sub system dan fungsinya, kemudian menyusun detail system, termasuk spesifikasi jenis manusia-mesin tertentu untuk bisa berfungsi dalam system yang lebih besar..
Sebagai contoh , pelajar yang mencoba melewati ujian kecakapan sekolah menengah yang mengindikasikan kompetensi “kecapakan dasar” , saat staf administrasi dan guru memberikan soal sesuai kenyataan dilapangan sering kali siswa tidak mampu, mereka tidak mampu membaca peta jalan raya, mengisi form pajak, atau membuat perencanaan transportasi menggunakan jadwal penerbangan pesawat.  Jika situasi pembelajaran bersifat khas seharusnya digabungkan antara prinsip prinsip psikologi pelatihan dan desain system dalam perencanaannya, permasalahan transfer tidak akan menjadi besar.  Kebanyakan pendidik (para guru, penyusun kurikulum, penulis buku) berpikir tentang pemerolehan materi pelajaran daripada tugas tugas fungsional dan hasilnya terlihat dengan rendahnya hasil ujian kompetensi.
Psikologi tingkah laku.  Cabang pemikiran keempat yang meneliti permasalahan pada pelatihan adalah teknik teknik modeling psikologi tingkah laku.  Ciri ciri penting modeling adalah peserta pelatihan  menampilkan demonstrasi baik secara langsung atau simbolis satu tingkah laku baru dan prakteknya dengan petunjuk dari instruktur. Meskipun penelitian menunjukkan bahwa observasi sangat berguna untuk mengembangkan tingkah laku baru, yang paling efektif adalah modeling (demonstrasi) dengan informasi dan praktek.
Modelling biasa digunakan  untuk mempermudah pembentukan tingkah laku ,  mengurangi ketakutan dan kegelisahan, juga bisa untuk melatih tingkah laku baru seperti pengembangan bahasa dan kecakapan kecakapan psikomotor.  Penarikan diri, isolasi dan tingkah laku hiperagresive juga menggunakan modeling untuk terapinya.
Prosedur yang dihubungkan dengan modeling didasarkan pada prinsip prinsip dari teori behavior seperti reinforcement dan  perkiraan berturut turut.  Rimm dan Masters mengidentifikasi empat factor yang efektif dalam modeling yaitu: 1) Peserta mengobservasi ada tidaknya yang konsekuensi menakutkan. 2) Mereka memperoleh pengetahuan teknis dan informasi selama demonstrasi. 3) Kecakapan kecakapan itu diperbaiki selama fase latihan. Pada fase ini kegelisahan atau ketakutan berkurang dan kepercayaan diri meningkat. 4) Dukungan dari instruktur membantu peserta.
Modeling adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi tingkah laku pada saat memberikan perlakuan (treatment) pada masalah masalah tingkah laku seperti ketakutan atau fobia.  Juga terbukti berhasil untuk terapi pengembangan kemampuan bicara dan tingkah laku social pada anak autis.  Terbukti, bidang bidang lain menggunakan prosedur demonstrasi dan praktek selama bertahun tahun dalam pelatihan, tetapi sedikit yang  melakukan  seempiris dan sepenuhnya seperti behavioris (penganut aliran behavioristik).
2.      Tujuan dan asumsi
Meskipun empat bidang yang dibahas diatas memiliki spesifikasi tetapi keempatnya memiliki filosofi umum yang sama. Keempatnya terutama menaruh perhatian pada tujuan pelatihan dan desain pelatihan daripada aspek filosofis konsepsi psikologis manusia atau masyarakat.  Ahli psikologi sibernetika, psikologi tingkah laku, psikologi pelatihan dan desain system bekerja untuk mempelajari desain pelatihan dan tingkah laku manusia saat pelatihan.  Mereka menanyakan, Apakah tujuan yang hendak dicapai? Sifat dasar dari program pelatihan adalah berasal dari analisa tujuan dan usaha membuat kondisi pelatihan yang akan membentuk ‘ketrampilan’ peserta menjadi seperti yang diinginkan.
Kelompok desainer pembelajaran ini umumnya ingin memecahkan masalah masalah pelatihan yang luas cakupannya mulai dari kecakapan psikomotor, kecakapan memecahkan masalah yang kompleks dan bahkan kadang  terapi dan pelatihan interpersonal .  Oleh karena itu model modelnya diaplikasikan secara luas pada pendidikan dan pelatihan.
3.      Sintaks (urutan kegiatan)
Model Pengajaran Training  menurut Joyce dan Weil (1980) memiliki lima fase yaitu klarifikasi tujuan, penjelasan teori, demonstrasi unjuk kerja yang benar, praktek simulasi dengan feed dan transfer training.
Fase pertama klarifikasi, dimulai dengan pernyataan tujuan, hal ini penting karena tujuan harus spesifik dan jelas dipahami siswa. Fase kedua, penjelasan teori, setelah tujuan disampaikan maka dibutuhkan penjelasan teoritis tentang mengapa tujuan itu diperlukan dan unjuk kerja apa yang harus dicapai. Fase ketiga demonstrasi, pada fase ini ditunjukkan gambaran , model tingkah laku , film, video atau demonstrasi secara langsung unjuk kerja yang tepat.  Fase keempat praktek simulasi, siswa atau peserta training akan mengerjakan tugas dari tiap tiap elemen prosedur dan diberikan feedback sebagai control ketepatan unjuk kerja yang ditampilkan.  Fase kelima, transfer pada kondisi yang sesungguhnya.  Pada awalnya transfer diawali dengan control dari guru atau pelatih tetapi kemudian siswa atau peserta akan mengoreksi tindaknnya sendiri dan secara bertahap kecakapannya meningkat.
4.      Sistem social
Para pebelajar memiliki pilihan yang berbeda dalam pelatihan. Ada yang menyukai dikontrol dan ada yang tidak.  Pebelajar yang tidak suka dikontrol akan sulit belajar apabila pelatih terlalu mengontrolnya. Mereka memerlukan otonomi yang lebih besar untuk menyelesaikan tugasnya dan akan memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri. Tetapi pebelajar yang lain mungkin memerlukan umpan balik dari luar untuk bisa belajar. Sistem sosial yang optimal untuk aplikasi training model   memadukan  tujuan dan pola pelatihan yang cocok untuk bermacam macam tipe pebelajar.
5.      Prinsip prinsip reaksi
Pelatih, guru atau tutor menggunakan training model memberikan umpan balik sesuai tingkat kemampuan peserta. Baik pelatih maupun “system analisis tingkat kemampuan peserta pelatihan”  memberikan umpan balik tentang rangkaian pembelajaran yang harus dilakukan hingga benar benar mampu.  Hal yang sangat penting adalah bahwa umpan balik yang diberikan cukup akurat, lengkap dan detail untuk peserta pelatihan memahami kemampuannya. Idealnya pelatih atau system memberikan cara bagi peserta untuk mengoreksi dirinya sendiri. Prinsip prinsip ini mengacu pada teori bahwa manusia merupakan system yang mampu mengoreksi informasi bagi dirinya sendiri, jika diberika umpan balik tentang sifat  dan akibat unjuk kerjanya, mereka akan mengoreksi dirinya sendiri.
6.      Sistem pendukung
Guru atau pelatih yang baik, bekerja sendiri, dapat menyediakan berbagai unsure yang diperlukan untuk system pelatihan secara sederhana dengan memberikan “arena (kesempatan)” untuk latihan kecakapan yang sedang diajarkan. Misalnya guru bahasa Inggris mengajarkan bahwa untuk penyusunan essay diperlukan  pensil, kertas dan siswa yang aktif. Peralatan peralatan teknis berguna khususnya untuk kecakapan psikomotor yang kompleks yang banyak dibidang atletik. Pelatih sepakbola menggunakan film,  rintangan, simulasi sesudah gol secara bersama yang mirip kondisi permainan yang sebenarnya   dan melatih dengan menekankan satu kecakapan saja  pada satu waktu.  Semua itu berguna.  Camp  tenis menyediakan berbagai film pendek yang mendemonstrasikan pemain dalam kondisi yang bervariasi.
7.      Aplikasi
Training Model bisa diaplikasikan untuk berbagai permasalahan pendidikan.  Banyak guru menggunakan untuk ketrampilan dasar membaca dan menulis.  Disamping itu juga untuk membantu dalam permasalahan perilaku social dan menghilangkan rasa takut. Guru olah raga dan pelatih kursus mengemudi adalah orang orang yang paling sering menggunakan model ini. Aspek dari model ini kebanyakan berdasarkan intuisi- saat kita bekerja dengan peserta pelatihan, kita melakukan demonstrasi dan kemudian memberi petunjuk saat mereka berlatih. Untuk tingkah laku (ketrampilan) yang sederhana, yang diperlukan hanya demonstrasi dan pemberian petunjuk saat latihan.  Tantangan untuk pendidik ketrampilan yang lebih kompleks tergantung pada konseptualisasi yang masuk akal dan definisi tugas, pengurutan yang teliti dan demonstrasi yang diikuti dengan pemberian petunjuk saat latihan, pertama dibawah kondisi simulasi untuk memastikan tercapainya kemampuan komponen komponen kecakapan dan integrasi kecakapan kecakapan itu menjadi satu kesatuan yang coherent.
Training model bisa menggunakan mediasi instruktur ataupun dengan mediasi bahan lain. Bahan ini didesain sesuai dengan prinsip prinsip desain pembelajaran ( yaitu, konseptualisasi kemampuan akhir yang diharapkan, memerincinya menjadi komponen komponen tugas dan menyusunnya menjadi rangkaian tindakan untuk mencapai kelulusan, memperjelas pelatihan dengan informasi  tugas dan sub sub tugas dan memberikan informasi saat demonstrasi, petunjuk saat latihan, umpan balik dan reinforcement.)  
Pembelajaran ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja kadang dibutuhkan pemikiran yang melebihi kemampuan guru. Tetapi apabila guru benar benar menguasai ketrampilan itu dengan baik tidak sulit untuk membuat analisis tugas dan membuat urutannya.  Hunziker mengembangkan langkah langkah pelatihan berenang untuk orang yang takut air.
Contoh untuk pembelajaran training yang menggunakan mediasi bahan ajar adalah yang didesain oleh Eva Baker dan Aleta G. Saloutos dari universitas California. Tujuan buku pedoman ini adalah untuk melatih penyusun materi pendidikan tentang bagaimana cara mengevaluasi program mereka – untuk meningkatkan kemampuan mendesain bahan , membuat ringkasan dan menafsirkan informasi yang dikumpulkan dan memperbaiki pengajaran yang sesuai dengan data yang diperoleh.  Buku pedoman disusun untuk melatih orang dalam tujuh kecakapan khusus dimana dua prasyarat kemampuan telah dimiliki – kemampuan mengidentifikasi tujuan yang terukur dan kemampuan mengidentifikasi dan menghasilkan rangkaian latihan untuk mencapai tujuan.
Tujuh kecakapan dalam evaluasi program pembelajaran mensyaratkan bahwa anda harus mampu untuk:
1.      Mengidentifikasi sumber sumber informasi yang diperlukan untuk evaluasi dan perbaikan bahan bahan pembelajaran yang ada didaerah dan dijual dipasaran.
2.       Mengidentifikasi unsure unsure  bentuk tes yang sesungguhnya (prototype tes) yang semestinya ada pada bahan pembelajaran
3.      Menulis rencana prototype tes
4.      Analisis rencana protoptype tes dan mengoreksi aspek aspek yang belum ada dalam rencana
5.      Susun data dari prototype tryout untuk menekankan hal hal yang berpotensi membuat ketidak cocokan produk
6.      Memberikan interpretasi verbal singkat data dari berbagai sumber data yang berbeda beda
7.      Mengusulkan  revisi pengajaran yang tepat dengan memberikan data dari prototype tes bahan
Singkatnya, tujuan utama pemberian materi ini adalah melibatkan kemampuan anda yang cukup untuk mendesain bahan bahan tryout, meringkas dan menafsirkan informasi yang anda kumpulkan dan merevisi pengajaran anda sesuai data yang diperoleh.

D.   PENERAPAN TRAINING MODEL DI SPP
Jika dilihat dari pembahasan teori training model, maka banyak sekali proses pembelajaran di SPP yang menggunakan model pembelajaran ini.  Saat guru reproduksi ternak mengajarkan Inseminasi Buatan, atau saat guru makanan ternak mengajarkan pembuatan silase atau siapa saja yang mengajarkan ketrampilan biasa menggunakan model pembelajaran ini.
Guru menjelaskan tujuan, kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan teori  tentang materi yang diajarkan. Setelah itu guru mendemonstrasikan langkah langkah yang  benar. Kemudian siswa akan mencoba mempraktekkannya, baik dalam simulasi maupun langsung dalam kondisi nyata. Pada saat siswa praktek, guru mengoreksi tindakan siswa yang tidak sesuai prosedur yang benar (memberikan umpan balik).
Biasanya simulasi dilakukan apabila latihan dengan kondisi nyata tidak memungkinkan.  Alasannya bisa bervariasi, dari tingkat resiko hingga factor biaya.
Dibawah ini dua contoh pembelajaran yang menggunakan training model dengan metode yang disesuaikan dengan karakteristik materi ketrampilan.
Contoh ketrampilan 1:
Mata Pelajaran            : Teknologi Pasca Panen semester 3
Standar kompetensi    : Pengolahan Daging
Kompetensi Dasar       : Pembuatan chicken nugget
Langkah langkah
Tahap persiapan guru sebelum jam belajar. Sama dengan penggunaan model lain, pada penggunaan metode training model guru lebih memilih media yang akan digunakan.  Untuk ketrampilan pasca panen, media video dan sekaligus alat dan bahan aslinya, merupakan alternative yang bisa dipilih. Untuk pembuatan chicken nugget, guru menyiapkan alat dan bahan berupa daging ayam yang sudah digiling, tepung roti, keju atau bisa diganti tepung tapioca, telur, bawang putih lada, penyedap, plastic packing, plastic lembaran. Jumlah keperluan bahan disesuaikan dengan jumlah kelompok  dalam kelas. Peralatan berupa freezer, kompor, penggiling bumbu, pengocok telur, baskom, dandang pengukus, cetakan, pisau, disediakan sesuai keperluan kelompok dan jumlah bahan yang tersedia (sesuai anggaran).
Guru menentukan anggota kelompok (2-3 orang). Pembatasan anggota memungkinkan siswa untuk bekerja sama tanpa mengurangi kesempatan belajarnya (time on task).
Tahap tahap selama pembelajaran
1.      Guru menjelaskan tujuan pembuatan chicken nugget
2.      Guru menjelaskan mengapa siswa belajar membuat chicken nugget
3.      Guru mendemonstrasikan pembuatan chicken nugget dengan:
·         Menggunakan video pembelajaran. Merupakan aternatif pertama karena meskipun pembuatan awalnya memerlukan waktu dan biaya, tetapi sekali dibuat bisa digunakan berulang kali. Untuk mengajar  langkah demi langkah suatu proses, guru dapat  menunjukkan dengan waktu yang sesungguhnya, tetapi dengan media  proses bisa dipercepat atau diperlambat. Dalam hal ini, proses dipercepat untuk menghemat waktu.
·         Atau menyiapkan bahan bahan, bahan setengah jadi dan nugget yang sudah jadi. Guru menunjukkan bahan yang diperlukan. Kemudian guru menunjukkan langkah langkahnya dengan praktek. Karena proses pembuatannya cukup lama, maka guru lebih dahulu menyiapkan bahan setengah jadi dan bahan jadi untuk mempersingkat waktu. Siswa mengamati tindakan guru.
4.      Siswa mempraktekkan pembuatan chicken nugget dengan bimbingan guru (feed back). Pemberian umpan balik untuk prosedur yang merupakan urutan aksi, hendaknya menunjukkan secara tepat dalam hal aplikasi itu tidak betul  atau secara tepat bagaimana cepatnya suatu prosedur yang betul diterapkan (Dahar, 1988).
Guru bisa menggabungkan langkah ketiga dan keempat. Guru mempraktekkan langkah pertama. Siswa langsung mengikuti. Setelah langkah pertama diselesaikan siswa, guru melanjutkan ke langkah kedua, dan seterusnya sampai selesai.
Untuk ketrampilan ini bisa tanpa penggunaan langkah simulasi.  Pertimbangannya adalah bahwa ketrampilan ini tidak beresiko dan pengadaan bahan bahannya mudah.
Pembelajaran pembuatan chicken nugget sampai pada tahap trampil untuk melaksanakan prosedur, cocok menggunakan traning model.  Tetapi untuk selanjutnya dimana siswa dikembangkan kreativitasnya dengan membuat variasi chicken nugget, model ini tidak sesuai. Pembelajaran bisa dikembangkan dengan model lain yang memungkinkan siswa membuat pilihan subtitusi bahan untuk pengembangan produk. Misalnya siswa bisa dilibatkan dalam diskusi untuk menentukan : bahan apa yang paling sesuai untuk subtitusi salah satu bahan chicken nugget, mencari alasan mengapa bahan tersebut dipilih, siapa kira kira calon konsumennya, atau seberapa pengaruhnya terhadap biaya produksi.
Sebagai assessment yang terbaik dilakukan dengan uji kompetensi. Siswa melakukan pembuatan chicken nugget dengan penilaian mulai dari langkah kerja dan komposisi penggunaan bahan yang sesuai dengan saat pembelajaran dilakukan
E.   PENYERTAAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PELAJARAN TEKNOLOGI PASCA PANEN
Menurut Gage dalam Dahar (1988), belajar  dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Untuk mengukur belajar, kita membandingkan cara organisme itu berperilaku pada waktu 1 dengan cara organism itu berperilaku pada waktu 2 dalam suasana yang serupa.
Strategi pembelajaran karakter pada dasarnya adalah merupakan cara, pola, metode, atau upaya yang dilakukan oleh pendidik dengan memberi kemudahan kemudahan agar peserta didik mudah belajar, dan dalam konteks pembelajaran karakter, pemberian kemudahan tersebut dalam kerangka untuk mengembangkan karakter baik atau agar peserta didik dapat mengembangkan karakter baiknya sendiri (Akbar, 2011).
Salah satu metode yang bisa digunakan adalah metode Diskusi Dilema Moral.  Metode ini memanfaatkan bahan diskusi yang berupa cerita atau isu isu yang dilematis.  Dengan mencermati tanggapan peserta didik tersebut seorang guru dapat menempatkan posisi pandangan peserta didik tersebut kedalam tahapan perkembangan moral.  Kemudian siswa dilibatkan pada diskusi berikutnya untuk mencapai tahapan perkembangan moral yang lebih tinggi.
Pembelajaran Teknologi Pasca Panen bisa digunakan untuk mengajarkan karakter menyukai kebersihan dan perilaku bertanggung jawab sebagai seorang produsen makanan.  Misalnya, memberikan video tentang proses pembuatan makanan ( seperti bakso) yang tidak higienis atau yang ‘jorok’ atau pemberian bahan tambahan yang berbahaya. Proses itu memberikan keuntungan yang besar buat tokoh dalam video.  Sementara itu, tokoh digambarkan sebagai seorang yang berada dalam masalah keuangan yang pelik, seperti tidak punya uang dan salah satu anggota keluarganya sakit keras dan tidak ada yang mau membantu.  Siswa diminta memberikan komentar tentang video tersebut. Bagaimana tanggapan mereka sebagai konsumen? Bagaimana tanggapan mereka jika menjadi produsen.
Siswa SPP sudah mampu memberi penilaian terhadap suatu peristiwa.  Maka kemudian guru membawa siswa untuk melakukan refleksi : Jika mereka tidak menginginkan menjadi konsumen yang dirugikan, maka pada saat menjadi produsen, mereka tidak boleh merugikan konsumen.
Siswa juga dibiasakan untuk selalu membersihkan peralatan yang mereka pakai dan tempat praktek mereka setelah praktikum selesai.  Tidak boleh ditunda. Berikan pengertian bahwa bahan pangan akan mengalami proses kerusakan, baik secara cepat maupun lambat.  Kerusakan itu membuat sesuatu yang hari ini bernama makanan besok bisa bernama sampah. 

F.    KESIMPULAN
Traning model merupakan model pembelajaran yang bisa diterapkan untuk berbagai materi ketrampilan motorik di SPP.  Penggunaan traning model lebih efisien untuk  pembelajaran sampai tahap trampil. Untuk tahap yang menuntut pengembangan kreativitas, maka guru sebaiknya menggunakan model lain.
Guru bisa saja menyertakan pembentukan karakter siswa dalam pengajaran dengan training model. Karakter yang diajarkan bisa dihubungkan dengan materi pelajaran ketrampilan.





DAFTAR RUJUKAN

Akbar, Sa’dun.  2011. Pembelajaran Nilai dan Karakter: Pendekatan dan Strategi Pembelajaran untuk Pengembangan dan Pembinaan karakter. Makalah seminar. Malang

Dahar, R.W.  1988. Teori Teori Belajar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta

Fleming, M. and W. H. Levie. 1978. Instructional Message Design. Principles from the Behavioral Sciences. Educational Technology Publications.  Englewood Cliffs, New Jersey 07632

Gagne, Robert M. 1982. The Condition of Learning. Third Edition. Holt, Rinehart and Winston

Joyce, B. and Marsha Weil. 1980. Models of Teaching. Second Edition. Prentice/ Hall International Inc.

McNeil, John D. 1977. Curriculum. A Comprehensive Introduction.  Little, Brown and Company.

Travers, Robert M. W. 1982. Essentials of Learning. The New Cognitif Learning for Student of Education. Fifth Edition. Macmillan Publishing Co, Inc.