Minggu, 05 Agustus 2012

PENGOLAHAN JERAMI


Pakan kasar masih menjadi pakan utama ternak ruminansia di Indonesia.  Salah satu pakan kasar yang tersedia melimpah adalah jerami, terutama jerami padi.  Hal ini karena jerami padi merupakan limbah pertanian tanaman pangan sebagian besar penduduk Indonesia.
Produksi jerami padi dapat mencapai 12-15 ton/hektar tiap panen tergantung lokasi dan varietasnya. Jerami ini bisa digunakan untuk pakan kasar 2-3 ekor sapi dewasa sepanjang tahun.
Penggunaan jerami untuk pakan baru berkisar 31-39% dan 7-16% untuk industri.Dari keseluruhan produksi jerami, sebagian besar masih dibakar dan dikembalikan ke tanah.  Efek negatif dari pembakaran adalah polusi lingkungan, mempengaruhi ekologi tanah dan hilangnya bahan organik
Komposisi kimia jerami padi meliputi bahan kering 71,2%, protein kasar 3,9%, lemak kasar 1,8%, serat kasar 28,8%, BETN 37,1% dan TDN 40,2%.  Kandungan lignin jerami berkisar 6-7% dan silikatnya 13%. Ternak yang hanya mendapatkan jerami saja sebagai pakannya akan memiliki produktivitas rendah.
Untuk digunakan sebagai pakan, jerami sebaiknya diolah lebih dahulu.  Pengolahan jerami bisa berupa amoniasi, hidrolisis dengan alkali maupun dengan fermentasi menggunakan mikrobia tertentu.
1.  Amoniasi Jerami
a.  Pengertian
Amoniasi merupakan cara pengolahan kimia dengan menggunakan amonia untuk meningkatkan daya cerna bahan pakan berserat sekaligus meningkatkan kadar N (proteinnya).
Amoniasi biasanya dilakukan pada bahan pakan asal limbah pertanian seperti berbagai jenis jerami dan bahkan juga pada kulit kopi, tergantung pada potensi daerahnya.
b. Tujuan
Pembuatan amoniasi bertujuan meningkatkan kualitas jerami yang rendah kandungan nutrisinya, menjadi jerami yang kandungan nutrisinya memadai dan daya cernanya tinggi.
c.      Proses
Jerami merupakan bagian tanaman yang telah tua yang memiliki kandungan lignin dan silikat yang menyebabkan daya cerna ternak ruminansia terhadap jerami rendah.   
Amoniasi jerami padi adalah proses pengolahan jerami padi menggunakan amonia (misalnya urea) sebagai sumber amonia dengan pemeraman pada kondisi anaerob.  Proses ini merubah tekstur jerami menjadi lunak dan rapuh sehingga mudah dicerna. Peningkatan kandungan protein juga terjadi pada jerami amoniasi karena peresapan nitrogen dari urea. Proses ini juga menghilangkan aflatoksin/ jamur dalam jerami.
Amonia dapat menyebabkan perubahan komposisi dan struktur dinding sel sehingga membebaskan ikatan antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa sehingga bisa dicerna oleh mikrobia rumen. Amonia akan terserap dan berikatan dengan gugus asetil dari bahan pakan dan bisa dimanfaatkan oleh mikrobia rumen.
Penggunaan urea dibatasi 4-6% karena pada penggunaan <3% amonia tidak mampu memecah ikatan lignin. Pada penggunaan > 6% amonia akan terbuang karena jerami tidak sanggup menyerapnya jadi secara ekonomi tidak menguntungkan.

Proses amoniasi bisa dilakukan dengan cara basah dan cara kering. Proses dengan cara basah menggunakan larutan urea sedangkan cara kering urea langsung ditaburkan pada jerami. Dengan cara kering 3-4 kg urea digunakan untuk 100 kg jerami. Pada pembuatan skala besar, jerami dimampatkan kotak kotak cetakan . Selanjutnya jerami dimasukkan dalam wadahnya (sejenis dengan silo) sambil ditaburi urea atau larutannya.
Penggunaan urea didasari pertimbangan ekonomis dan juga lebih ramah lingkungan.  Sebenarnya sumber amonia lain seperti gas amonia bisa digunakan. Disini jerami yang telah dimasukkan ke dalam wadah tertutup disemprot dengan gas amonia.
d.     Kualitas
Untuk menghasilkan jerami amoniasi yang berkualitas, maka dibutuhkan bahan yang berkualitas pula. Bahan dasar dari pembuatan jerami amoniasi ini adalah jerami padi yang tersisa setelah pemanenan. Jerami padi yang akan diamoniasi harus memenuhi beberapa kriteria yaitu jerami harus dalam kondisi kering, tidak boleh terendam air sawah atau pun air hujan, dan harus dalam keadaan baik (tidak busuk atau rusak).
Jerami yang telah diamoniasi memiliki tekstur lunak dan rapuh, berwarna coklat tua, berbau amonia dan tidak berjamur.  Jika dilakukan analisa proksimat maka kandungan protein kasarnya lebih dari 6%.

e.      Penggunaan
Hasil amoniasi harus diangin-anginkan terlebih dahulu sebelum diberikan pada ternak.  Tujuannya adalah untuk menghilangkan amoniak dalam jerami. Untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama, jerami amoniasi harus dijemur atau dikeringkan 2-3 hari. Setelah kering jerami dapat disimpan dibawah tempat teduh atau atap. Jangan sampai terkena air hujan karena akan mengakibatkan pembusukkan. Jerami yang sudah kering dapat disimpan selama selama 6 – 12 bulan tanpa penurunan kualitas.
Bila cuaca tidak memungkinkan untuk penjemuran, jerami amoniasi tidak perlu dikeluarkan dari wadahnya.  Keluarkan sesuai kebutuhan dan angin anginkan sebelum diberikan pada ternak.
Jerami amoniasi merupakan pakan yang miskin mineral.  Ada baiknya pemberiannya disertai dengan pemberian mineral secara teratur.
2. Hidrolisis Jerami
Perlakuan lain untuk memperbaiki kualitas jerami dilakukan dengan hidrolisis  dengan larutan basa.  Larutan basa bisa dibuat dengan NaOH atau CaO.
Apabila jerami direndam dalam larutan alkali, maka ikatan antara lignin dan selulosa dan hemiselulosa dinding sel akan terhidrolisa sehingga karbohidrat akan lebih tersedia bagi microorganisme dalam rumen. Perlakuan dengan alkali juga meningkatkan tingkat konsumsi.
Awalnya proses ini dilakukan di Jerman saat perang dunia I, jerami direndam selama 1 hingga 2 hari dalam larutan NaOH (kaustik soda/soda api) 15-30 g/l dan kemudian dicuci untuk menghilangkan residu alkalinya.
Proses ini meningkatkan daya cerna jerami tetapi sebagian nutrien larut saat pencucian. Kemudian dikembangkan metode kering dengan kandungan NaOH 10-40g/l. Daya cerna jerami meningkat, dari 0,4 menjadi 0,5-0,7.
Alkali lain yang juga efisiennya adalah kapur ( CaO 60% dan MgO 1.3%).  Kapur sebanyak 40 gram dilarutkan dalam 10 liter air digunakan untuk merendam 1 kg jerami selama kurang lebih 48 jam (2 hari). Kemudian jerami dicuci dengan 5 liter air dan dikeringkan dengan sinar matahari. Hasil penelitian Saadullah dkk (1981) ini meningkatkan kecernaan bahan kering jerami dari 38 menjadi 49%. Jika pemberiannya pada domba disertai 10% molasses dan 2% urea dalam ransum, maka kecernaan ransum menjadi 54%.
3.  Fermentasi Jerami
Selain proses kimia, degradasi ikatan kimia pada jerami juga bisa dilakukan dengan fermentasi.  Fermentasi adalah suatu cara pengawetan yang menggunakan mikrobia tertentu untuk menghasilkan asam atau komponen lainnya yang dapat menghambat mikrobia perusak lainnya.
Cara melakukan fermentasi adalah dengan menambahkan bahan yang mengandung mikrobia proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik.  Mikrobia tersebut kita kenal dengan sebutan probiotik. Campuran berbagai mikro organisme tersebut berguna untuk mempercepat proses pemecahan serat jerami padi, sehingga mudah dicerna oleh ternak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi jerami yang telah difermentasi dengan mikrobia secara umum menunjukkan peningkatan kualitas.  Protein meningkat dari 4,23% menjadi 8,14% dan juga disertai penurunan serat kasar.

Pembuatan fermentasi jerami dilakukan pada tempat yang terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung. Dimana untuk kapasitas 10 ton dapat dibuat bangunan dengan ukuran 4 x 5 m. Lantai dasar dapat dibuat dari semen atau tanah yang dipadatkan dan ditinggikan dari tempat sekitarnya, tanpa dinding. Bahan bangunan menggunakan kayu atau bambu. Untuk atap dapat berupa seng atau bahan yang tersedia di tempat. Jarak lantai ke atap 3 m.
Hasil fermentasi jerami yang baik ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Ø  Baunya khas
Ø  Warnanya kuning agak kecoklatan
Ø   Teksturnya lemas(tidak kaku)
Ø   Tidak busuk dan tidak berjamur 

Fermentasi bisa juga dipadukan dengan amoniasi. Starter yang digunakan  urea dan probiotik.
Jerami yang telah difermentasi bisa diberikan sebagai pakan kasar bagi ternak sapi 6-8 kg/ekor/hari  dengan penambahan konsentrat 1% dari berat badan ternak. Hasil penelitian di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pertambahan berat badan sapi bali yang diberi jerami fermentasi lebih tinggi dibandingkan sapi yang diberi rumput lapangan.
Administrator, 2010.  Fermentasi Jerami untuk Pakan Sapi.  BPPT Sumatera Barat. http://sumbar.litbang.deptan.go.id diunduh 4 Maret 2012

Anonimous, 2012. Determine The Characteristics of Good Silage and The Steps in Producing It.  http://forages.oregonestate.edu/nfgc/eo/onlineforagecurriculum /instructurmaterials/availabletopics/mechaninalharvest/silage

Cullison, A.E. & Lowrey, R. S. 1987.  Feeds and Feeding. Fourth Edition. A Resto Book Prentice Hall. Englewood Cliffs.

Drake, D.J. Nader, G., Forero, L. 2011.   Feeding Rice Straw to Cattle. University of California.

 Ensminger, M.E.  1990.  Animal Science. 8th Ed. Interstate Publisher, Inc. Dannville

Kartasudjana, D.  2001. Mengawetkan Hijauan Pakan Ternak. Modul Keahlian Budidaya Ternak. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.

McDonald, P, et al.  1987. Animal Nutrition. Fourth edition. Longman Group,LTd.

Nista, D. dkk. 2007.  Teknologi Pengolahan Pakan: UMB, fermentasi jerami,amoniasi jerami, silage, hay. http://bptu_sembawa.net/VI/data/download/20090816160949.pdf.

Parakkasi, A. 1999.  Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminant.  UI Press. Jakarta.

Saribuang, M dkk. 2000.  Pemanfaatan Probiotik dalam Fermentasi Jerami Sebagai Pakan Sapi Bali Di Musim Kemarau.  Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Gowa. Gowa

PEMBUATAN SILASE

Salah satu kendala pada peternakan ruminansia adalah ketersediaan pakan kasar. Ketersediaan pakan kasar berkualitas bagi ternak ruminansia di Indonesia sangatlah fluktuatif. Pada musim hujan, hijauan berproduksi tinggi sehingga melimpah. Sedangkan pada musim kemarau, hijauan merupakan pakan yang sulit didapat.  Salah satu cara untuk mengawetkan hijauan adalah dengan membuat silase.
a.      Pengertian
Silase adalah pakan yang berbahan baku hijauan, hasil samping pertanian atau bijian berkadar air tertentu yang telah diawetkan dengan cara disimpan dalam tempat kedap udara selama kurang lebih tiga minggu. Penyimpanan pada kondisi kedap udara tersebut menyebabkan terjadinya fermentasi pada bahan silase.
Tempat penyimpanannya disebut silo. Silo bisa berbentuk horisontal ataupun vertical. Pada peternakan skala besar, silo biasanya permanen. Bisa berbahan logam berbentuk silinder  ataupun lubang dalam tanah (kolam beton). Tetapi silo juga bisa dibuat dari drum atau bahkan dari plastik .  Prinsipnya, silo memungkinkan untuk memberikan kondisi anaerob pada bahan agar terjadi proses fermentasi.
Bahan untuk pembuatan silase bisa berupa hijauan atau bagian bagian lain dari tumbuhan yang disukai ternak ruminansia, seperti rumput, legume, biji bijian, tongkol jagung, pucuk tebu, batang nenas dan lain-lain. Kadar air bahan yang optimal  untuk dibuat silase adalah 65-75% . Kadar air tinggi menyebabkan pembusukan dan kadar air terlalu rendah sering menyebabkan terbentuknya jamur . Kadar air yang rendah juga meningkatkan suhu silo dan meningkatkan resiko kebakaran.

Jika dibandingkan dengan pembuatan hay, pembuatan silase memiliki kelebihan yaitu:
Ø  Hijauan tidak mudah rusak oleh hujan pada waktu dipanen
Ø  Tidak banyak daun yang terbuang
Ø  Silase umunya lebih mudah dicerna dibandingkan hay
Ø  Karoten dalam hijauan lebih terjaga dengan dibuat silase dibanding hay
Sedangkan kelemahan pembuatan silase adalah perlunya ongkos panen, perlunya mengisi silo dan biaya pembuatan silo sebagai tempat penyimpanan
b.     Tujuan
Tujuan pembuatan silase adalah untuk mengawetkan hijauan atau bijian yang berlimpah untuk digunakan pada saat kesulitan untuk mendapatkan hijauan tersebut. Di negara yang memiliki 4 musim silase sangat popular bagi peternak ruminansia karena tanaman hanya berproduksi pada musim tertentu. Jadi silase bisa menjadi cadangan pakan untuk ternak mereka.
Di Indonesia, hijauan melimpah pada musim hujan dan kurang pada musim kemarau. Tetapi pengawetan hijauan seperti dengan pembuatan silase belum banyak dilakukan oleh peternak skala kecil di negara kita.  Akibatnya peternak kita sering mengalami kesulitan penyediaan pakan bagi ternaknya.
Di Kalimantan Selatan, salah satu tanaman yang banyak dibudidayakan dan bisa digunakan sebagai pakan tetapi  belum banyak pemanfaatannya adalah kelapa sawit.  Penggunaan daun dan pelepah kelapa sawit sudah banyak diteliti oleh para ahli. Kita bisa membuatnya menjadi silase.
c.      Proses Ensilase
Agar  berhasil membuat silase, kita harus memahami proses ensilase. Proses ensilase yaitu proses selama pembuatan silase.  Proses ini memerlukan waktu 2-3 minggu.
Setelah suatu produk pertanian dipanen, misalnya rumput dipotong, proses respirasi akan tetap terjadi sampai sel sel tanaman mati. Respirasi merupakan pengubahan karbohidrat menjadi energi maka apabila berjalan lama akan menurunkan kandungan karbohidrat pakan. Proses respirasi memerlukan oksigen sehingga untuk menghentikan proses ini dapat dilakukan dengan menempatkan bahan pada kondisi anaerob.  Oleh karena itu kita memampatkan bahan silase dan menutup rapat silo agar proses respirasi tidak berlangsung lama.
Hijauan biasanya dipotong 3-5 cm sebelum dibuat silase. Tujuannya agar lebih mudah memampatkannya.  Apabila pemampatan maksimal, maka oksigen dalam silo akan rendah sehingga respirasi cepat terhenti.
Setelah respirasi terhenti, proses yang terjadi selanjutnya adalah fermentasi.  Proses ini menyebabkan turunnya pH (derajat keasaman) bahan baku silase hingga tidak ada lagi organisme yang bisa tumbuh. Proses fermentasi bisa terjadi karena adanya bakteri pembentuk asam laktat yang mengkonsumsi karbohidrat dan menghasilkan asam laktat.  Asam laktat akan terus diproduksi hingga tercapai pH yang rendah (<5) yang tidak memungkinkan bakteri beraktifitas lagi dan tidak ada lagi perubahan .  Keadaan inilah yang disebut keadaan terfermentasi, dimana bahan dalam keadaan tetap atau awet. Pada kondisi anaerob silase dapat disimpan bertahun-tahun.
Contoh bakteri asam laktat diantaranya adalah Streptococcus thermophillus, Streptococcus lactis, Lactobacillus lactis, Leuconostoc mesenteroides .
Selain bakteri pembentuk asam laktat, dalam bahan baku silase terdapat juga bakteri Clostridia.   Bakteri ini mengkonsumsi karbohidrat, protein dan asam laktat sebagai sumber energi dan memproduksi asam butirat.  Bakteri ini merugikan karena menguraikan asam amino (menurunkan kandungan protein dan menghasilkan ammonia) sehingga menyebabkan pembusukan silase. Keadaan yang mendukung pertumbuhan bakteri Clostridia adalah tingginya kadar air, terlalu lamanya proses respirasi, kurangnya bakteri asam laktat dan rendahnya karbohidrat. Inilah yang menyebabkan perlunya pelayuan bila kadar air bahan lebih dari 75% dan bahan tambahan dalam pembuatan silase hijauan.
Bahan tambahan untuk pembuatan silase dibedakan menjadi 2 jenis yaitu stimulant dan inhibitor.  Bahan yang masuk kategori stimulant adalah bahan pakan sumber karbohidrat seperti molasses, onggok, dedak halus atau ampas sagu. Molasses dan onggok bisa ditambahkan sebanyak 2,5 % dari berat hijauan. Sedangkan kalau dedak halus sebanyak 5% dan kalau menggunakan ampas sagu diperlukan 7% dari berat hijauan. Urea juga bisa ditambahkan untuk meningkatkan kandungan protein silase berbahan baku jagung.  Bahan stimulant lain yang juga bisa dipakai adalah enzim atau mikrobia yang biasa dijual di pasaran.
Sedangkan bahan yang masuk kategori inhibitor diantaranya asam format, asam klorida, antibiotik,  asam sulfat dan formalin. Penambahan inhibitor bermanfaat untuk proses ensilase tetapi masih asing bagi petani kita. Bahan stimulant lebih mudah didapatkan, harganya juga lebih murah dan lebih ramah lingkungan.

Jadi prinsip pembuatan silase yang utama adalah:
Ø  Menghentikan pernapasan dan penguapan sel sel tanaman
Ø  Mengubah karbohidrat menjadi asam laktat melalui proses fermentasi kedap udara
Ø  Menahan aktivitas enzim dan bakteri pembusuk
Ø  Mencapai dan mempercepat keadaan hampa udara (anaerob)

d.     Kualitas Silase
Silase yang baik biasanya berasal dari pemotongan hijauan tepat waktu (menjelang berbunga), pemasukan ke dalam silo dilakukan dengan cepat, pemotongan hijauan dengan ukuran yang memungkinkannya untuk dimampatkan, penutupan silo secara rapat (tercapainya kondisi anaerob secepatnya) dan tidak sering dibuka.   
Silase yang baik beraroma dan berasa asam, tidak berbau busuk. Silase hijauan yang baik berwarna hijau kekuning-kuningan. Apabila dipegang terasa lembut dan empuk tetapi tidak basah (berlendir) . Silase yang baik juga tidak menggumpal dan tidak berjamur. Bila dilakukan analisa lebih lanjut, kadar keasamanya (pH) 3,2-4,5.
Apabila terlihat adanya jamur, warna kehitaman, berair dan aroma tidak sedap berarti silase berkualitas rendah.

e.      Penggunaan Silase
Silase bisa digunakan sebagai salah satu atau satu satunya pakan kasar dalam ransum sapi  potong . Pemberian pada sapi perah sebaiknya dibatasi tidak lebih 2/3 dari jumlah pakan kasar.  Silase juga merupakan pakan yang bagus bagi domba tetapi tidak bagus untuk kuda maupun babi. Silase merupakan pakan yang disukai ternak terutama bila cuaca panas.
Apabila ternak kita belum terbiasa mengkonsumsi silase, maka pemberiannya sedikit demi sedikit dicampur dengan hijauan yang biasa dimakan.  

Anonimous, 2012. Determine The Characteristics of Good Silage and The Steps in Producing It.  http://forages.oregonestate.edu/nfgc/eo/onlineforagecurriculum /instructurmaterials/availabletopics/mechaninalharvest/silage

Cullison, A.E. & Lowrey, R. S. 1987.  Feeds and Feeding. Fourth Edition. (Page 234-245) A Resto Book Prentice Hall. Englewood Cliffs.

Drake, D.J. Nader, G., Forero, L. 2011.   Feeding Rice Straw to Cattle. University of California.

 Ensminger, M.E.  1990.  Animal Science. 8th Ed. Interstate Publisher, Inc. Dannville

Ensminger, M.E., et al. 1992. Feed and Nutrition. Second Edition. The Ensminger  Publishing Company. Clovis. California.

Hanafi, ND. 2008. Teknologi Pengawetan Pakan Ternak. Universitas Sumatera Utara.

Kartasudjana, D.  2001. Mengawetkan Hijauan Pakan Ternak. Modul Keahlian Budidaya Ternak. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. http://files.ictpamekasan.nett/materi-kejuruan/pertanian/budi-daya-ternakruminansia/mengawetkan-hijauan-pakan.pdf

McDonald, P, et al.  1987. Animal Nutrition. Fourth edition.  (Page 404-415) Longman Group,LTd.

Nista, D. dkk. 2007.  Teknologi Pengolahan Pakan: UMB, fermentasi jerami,amoniasi jerami, silage, hay. http://bptu_sembawa.net/VI/data/download/20090816160949.pdf.

Parakkasi, A. 1999.  Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminant.  UI Press. Jakarta.

Rukmana, R. 2005.  Budi Daya Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak.  (hal 51-57) Kanisius. Yogyakarta.



Sabtu, 04 Agustus 2012

PEMBUATAN HAY

Produksi hijauan disaat berlimpah hendaknya disimpan dengan berbagai cara pengawetan antara lain dibuat menjadi hay.  Di negara negara maju, hay dibuat dari hijauan dikeringkan dan  lalu  digulung dengan menggunakan mesin. 
Prinsip dasar dari pengawetan dengan cara dibuat hay adalah dengan mengeringkan hijauan baik menggunakan sinar matahari maupun menggunakan mesin pengering. Kandungan air hay ditentukan maksimal sebesar 15-20%, hal ini dimaksud agar hijauan saat disimpan sebagai hay tidak ditumbuhi jamur. Jamur akan merusak kualitas hay sehingga tidak  disukai ternak dan tidak bisa diberikan pada ternak karena adanya mikotoksin. Toleransi kandungan air hay tergantung pada kelembaban, kepadatan gulungan dan sirkulasi udara.
Tujuan pembuatan hay adalah untuk penyediaan hijauan untuk pakan ternak pada saat ketersediaan hijauan segar berkurang.
Di negara negara sub tropis hay dan silase merupakan pakan yang dapat diperjual belikan jadi merupakan komoditas yang dapat diperdagangkan.  Tetapi hay relatif mudah untuk pengangkutan dibandingkan silase. Hay tidak memerlukan kondisi anaerob selama penyimpanan dan pengangkutan.
Proses pengeringan yang berlangsung terlalu lama akan mengakibatkan kehilangan nutrisi dan memudahkan tumbuhnya jamur. Pengeringan yang berlebihan juga akan menurunkan kualitas hay karena daun mudah patah. Pada saat pengeringan kandungan karoten hijauan akan turun dari 150-200 mg/kg pakan menjadi 2-20 mg/kg pakan. Tetapi pengeringan dengan sinar matahari bermanfaat untuk iradiasi pro vitamin D hijauan. Kehilangan nutrien mudah larut juga bisa terjadi bila selama pengeringan terjadi hujan.
Pengeringan dengan sinar matahari bisa dengan menghampar hijauan di lahan, dengan menggunakan para para atau kaki tiga (tripod).
Pemotongan hijauan untuk dibuat hay, yang terbaik adalah saat hijauan menjelang berbunga.  Tetapi untuk pembuatan hay diperlukan sinar matahari sehingga pemotongannya harus mempertimbangkan keadaan cuaca.
Gambar 4.3. Pembentukan pellet dari hay. Sumber sunhat.com
Pembuatan hay dengan mesin pengering memerlukan biaya besar dan kurang ekonomis. Di negara maju pembuatan hay dengan mesin pengering dilakukan pada hijauan tertentu seperti alfalfa.  Proses ini dilakukan dengan pemanasan pada suhu 1500C selama 20-50 menit atau pada suhu 500-1000 0C selama 0,5 -2 menit. Dengan pemanasan tersebut kadar air produk menjadi 5-10%. Setelah proses pengeringan kemudian bisa dilanjutkan pembentukan tepung, pellet atau wafer.  Produknya bisa diberikan pada unggas, babi maupun ruminansia.
Semakin cepat proses pengeringan berlangsung hay akan makin baik. Tetapi apabila tidak tersedia pengering dan cuaca kurang mendukung untuk proses pengeringan, maka penambahan bahan pengawet mungkin diperlukan.  Adapun macam macam pengawet yang dapat dipakai antara lain garam dapur, asam propionat dan amonia cair.
Garam sebagai pengawet diberikan 1-2% akan dapat mencegah timbulnya panas karena kandungan uap air, juga dapat mengontrol aktivitas mikroba, serta dapat menekan pertumbuhan jamur.  Asam propionat berfungsi sebagai fungisidal dan fungistalik yaitu mencegah dan memberantas jamur yang tumbuh serta tidak menambah jumlah jamur yang tumbuh.  Pemberiannya adalah sebanyak 1% dari berat hijauan yang dipak. Amonia cair juga berfungsi sebagai fungisidal dan pengawet, mencegah timbulnya panas, meningkatkan kecernaan hijauan tersebut dan memberikan tambahan N bukan protein.  Penggunaan pengawet memungkinkan hay disimpan dalam kadar air yang lebih tinggi.
Setelah dalam penyimpanan, gas amonia juga bisa digunakan untuk memperbaiki nutrien hay.  Caranya sama dengan yang dilakukan untuk yang biasa dilakukan pada jerami. Hay yang ada di wadah  disemprot dengan gas amonia melalui lobang.
Gambar 4.4. Hay yang berkualitas tinggi (kiri) dan rendah (kanan)  http://en.wiki pedia.org/wiki/hay
Rata rata hay memiliki kandungan serat kasar 25 – 32%  dan TDN 45-55%.  Hay yang berkualitas baik memiliki ciri ciri sebagai berikut:
Ø  Warnanya hijau kekuningan dan cerah
Ø  Baunya tidak tengik
Ø  Tekstur/keadaan fisiknya tidak terlalu kering, sehingga tidak mudah patah
Ø  Tidak berjamur atau ada kontaminasi pasir, tanah dll
Jika dibandingkan dengan silase, hay lebih mudah ditangani pada saat penyimpanan dan pengangkutan karena tidak memerlukan kondisi anaerob.  Disamping itu, hay lebih ringan untuk diangkut karena kadar airnya rendah.
Tetapi bila penanganan tidak tepat, akan lebih banyak daun yang hilang. Hay mudah terbakar , jika disimpan di gudang yang suhunya diatas 600C, resiko kebakaran lebih tinggi.  Pembuatan hay secara konvensional memerlukan panas matahari sehingga tergantung pada kondisi cuaca.
Anonimous, 2012. Determine The Characteristics of Good Silage and The Steps in Producing It.  http://forages.oregonestate.edu/nfgc/eo/onlineforagecurriculum /instructurmaterials/availabletopics/mechaninalharvest/silage

Cullison, A.E. & Lowrey, R. S. 1987.  Feeds and Feeding. Fourth Edition. A Resto Book Prentice Hall. Englewood Cliffs.

Drake, D.J. Nader, G., Forero, L. 2011.   Feeding Rice Straw to Cattle. University of California.

 Ensminger, M.E.  1990.  Animal Science. 8th Ed. Interstate Publisher, Inc. Dannville

Kartasudjana, D.  2001. Mengawetkan Hijauan Pakan Ternak. Modul Keahlian Budidaya Ternak. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.

McDonald, P, et al.  1987. Animal Nutrition. Fourth edition. Longman Group,LTd.

Nista, D. dkk. 2007.  Teknologi Pengolahan Pakan: UMB, fermentasi jerami,amoniasi jerami, silage, hay. http://bptu_sembawa.net/VI/data/download/20090816160949.pdf.

Parakkasi, A. 1999.  Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan.  UI Press. Jakarta.