BAB
I PENDAHULUAN
Ketersediaan pakan yang kontinyu merupakan masalah yang
umum terjadi pada peternakan ruminansia di Indonesia. Produksi hijauan sebagai
sumber utama pakan ternak ruminansia sangat tergantung pada musim. Untuk
mengatasi masalah tersebut, berbagai penelitian dilakukan guna menemukan bahan
bahan yang bisa digunakan sebagai pengganti hijauan.
Salah satu bahan yang banyak tersedia di Kalimantan
Selatan adalah limbah batang pisang. Lahan yang ditanami pisang menurut data
distantph pada tahun 2013 adalah 3300 ha. Dengan jarak tanam 3 x 3 m, maka
dalam 1 ha lahan bisa dibudidayakan 1100 pohon pisang dan dengan berat +/- 20
kg per batang, maka bisa dihasilkan sebanyak 22 ton limbah batang pisang/ha .
Jumlah itu cukup untuk sumber pakan kasar utama bagi 3 ekor sapi dengan berat
200 kg (dengan asumsi pakan kasar 10% dari berat badan sapi) sepanjang tahun.
Menurut Mastika (2011: 13) pemakaian limbah pertanian dalam ransum ternak akan
dapat membantu usaha peternakan yang efisien karena harga ransum akan dapat
ditekan dan pendapatan petani dapat ditingkatkan.
Kendala pemanfaatan limbah batang pisang adalah protein
yang rendah dan ketersediaannya yang tergantung pada pemanenan buah pisang. Hal
ini menyebabkan petani pemilik kebun pisang enggan untuk memanfaatkan batang
pisang sebagai bahan pakan ternak.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah
dengan fermentasi. Proses fermentasi bisa mengubah komposisi kimia limbah dan
sekaligus mengawetkan limbah sehingga bisa digunakan kapan saja bila
diperlukan. Oleh karena itu, penulis melakukan kajian ilmiah untuk mengetahui
bahan starter yang paling sesuai untuk fermentasi
batang pisang.
Namun proses fermentasi tidak berpengaruh signifikan
terhadap kandungan protein bahan, oleh karena itu penulis menggunakan salah
satu leguminosa untuk digunakan sebagai campuran silase. Gliricidia sepium digunakan karena merupakan leguminosa
ketersediaannya bisa kontinyu namun kurang disukai ternak sapi. Diharapkan
proses fermentasi akan membuat aroma daun gamal berkurang dan menjadi lebih
disukai oleh ternak
Masalah pada pemanfaatan batang pisang sebagai pengganti
hijauan pakan ternak adalah kandungan protein yang rendah dan ketersediaannya
yang tergantung pada saat panen buah pisang. Untuk itu perlu dilakukan upaya
agar batang pisang bisa dimanfaatkan sebagai pakan melalui proses fermentasi
yaitu dengan membuat silase. Proses fermentasi pada pembuatan silase akan lebih
cepat terjadi dengan penambahan starter. Dari berbagai bahan yang bisa
digunakan sebagai starter silase, bahan manakah paling mendukung proses
fermentasi batang pisang dan gamal sehingga menghasilkan silase terbaik?
Dari masalah yang ada, penulis membuat uji terhadap
berbagai bahan yang bisa digunakan sebagai stater silase batang pisang dan
gamal (bapigam). Ukuran kualitas dilakukan dengan uji organoleptik dan kimia silase
yang dihasilkan. Karena keterbatasan waktu dan dana maka pada kajian
ini parameter yang diambil hanya warna, aroma, ada tidaknya lendir, ada
tidaknya jamur dan kadar protein kasar.
Kajian
ini dilakukan dengan
maksud untuk mengetahui starter yang
paling baik bagi fermentasi batang pisang dan gamal. Manfaat
yang diharapkan pada kajian ini adalah:
1. Bagi
penulis, merupakan alat untuk mengembangkan diri sebagai guru
2. Bagi
siswa, dapat membandingkan
berbagai starter fermentasi dalam mengolah bahan pakan ternak
3. Bagi
guru agribisnis pakan ternak
ruminansia dapat menginspirasi untuk mencoba berbagai bahan dan proses untuk
pemanfaatan bahan baku pakan yang rendah nutrisinya
4. Mendorong para
petani untuk memanfaatkan batang pisang sebagai bahan pakan ternak ruminansia
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Batang
Pisang
Pemanfaatan limbah pertanian merupakan pilihan yang
sangat penting dalam usaha pengembangan peternakan di lahan sempit (Mastika,
2011:18). Salah satu tanaman buah yang penting di Kalimantan Selatan adalah
pisang. Berdasarkan data dari distan tph tahun 2013, luas lahan yang ditanami
pisang di Kalsel adalah 3300 ha. Hal ini karena pisang mampu tumbuh di berbagai
macam lokasi dan hanya membutuhkan perawatan sederhana (Rosyidin, 2014: 1). Jarak tanam pohon pisang adalah 3 x 3
m untuk tanah sedang dan 3,3 x 3,3 m untuk tanah berat (Prahasta, 2009: 77) ,
jadi dalam 1 ha lahan bisa ditanam 900 sampai 1100 batang pohon pisang.
Tanaman pisang yang dibudidayakan secara intensif dengan
menerapkan teknologi secara benar dapat memberikan keuntungan yang tinggi dan
mampu bersaing dengan budidaya tanaman yang lain ( Cahyono, 2018: 2). Hampir
semua bagian pisang dapat dimanfaatkan. Bagian bagian vegetatif berserta buah
yang tidak termanfaatkan dapat digunakan sebagai pakan ternak, terutama pada
saat pakan ternak dan air sulit diperoleh ( Prahasta, 2009: 2). Kandungan air batang pisang berkisar 90%
(Hartadi, 2005:88). Sedangkan kandungan air terbaik untuk bahan silase berkisar
60-67% (Ensminger, 1992:353) jadi batang pisang harus dilayukan sebelum dibuat
silase.
Jika dibandingkan dengan rumput gajah segar, kandungan
serat kasar dan dan protein lebih rendah. Komposisi batang pisang dalam bahan
kering, menurut Hartadi dkk (2005:88) adalah abu 14%, lemak kasar 2%, serat
kasar 24% , BETN 56,1 dan protein kasar 3,9%. Rendahnya ketersediaan zat-zat makanan yang
terkandung dalam limbah merupakan kendala utama pemanfaatannya untuk pakan
ternak ( Mastika, 2011: 10).
B. Gamal
(Gliricidia Sepium)
Gamal adalah sejenis perdu dari kerabat polong polongan
(suku Fabaceae atau Leguminosa) yang sering digunakan sebagai pagar hidup atau
peneduh ( Junaida dkk, 2014: 64). Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di
daerah dataran rendah sampai ketinggian 1300 dpl (Rukmana, 2005:31). Produksi
daun gamal dengan selang waktu pemotongan 3 bulan mencapai 43.000 ton atau 8-11
ton bahan kering per hektar per tahun (Pribadi, 2014).
Daun gamal merupakan sumber protein sehingga cocok
sebagai makanan ternak dan suplemen pada hijauan yang berkualitas rendah
(Rukmana, 2005: 32). Bagian aerial gamal masa pertumbuhan awal mengandung abu 8,4%,
lemak kasar 4%, serat kasar 13,3%, BETN 48,6% dan protein kasar 25,7% (Hartadi
dkk, 2005: 80). Penambahan sumber
protein pada ternak yang mendapat pakan berkualitas rendah akan meningkatkan daya
cerna dan tingkat konsumsi (Parakasi, 1999:500).
Kelemahan gamal adalah mengandung comarin yang bisa
berubah menjadi racun bila berubah menjadi hidroksi coumarin atau dicoumarin
(Rianto dan Purbowati, 2010: 110). Menurut Mastika (2011: 116) penggunaan perlakuan
kimia atau mikrobiologis, dengan pembuatan silase, merupakan cara yang efektif
untuk menghancurkan glukosida, alkaloid dan beberapa jenis mikotoksin.
C. Silase
Silase adalah bahan yang dihasilkan dari fermentasi
hijauan berkadar air tinggi, melalui proses yang disebut ensilase dalam tempat
yang disebut silo (McDonald, 1981: 9). Proses ensilase diartikan sebagai
perubahan yang terjadi saat pakan atau hijauan berkadar air cukup
difermentasikan dalam silo tanpa adanya udara (Ensminger et al, 1992:332).
Karakteristik tanaman ideal untuk disimpan sebagai silase
adalah cukup tersedia substrat mudah terfermentasi dalam bentuk WSC, buffering
capacity (Bc) rendah dan memiliki bahan kering dalam tanaman segar lebih kurang
20% (McDonald, 1981: ). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa tanaman yang tidak
memenuhi seluruh persyaratan memerlukan perlakuan seperti, pelayuan, pemotongan
dan penggunaan aditif. Bahan silase
biasanya dipotong menjadi potongan kecil sebelum dibuat silase (Cullison, 1987:
241).
Menurut Wilkinson dalam Pond et al (2005: 337), hijauan
dari daerah tropis umumnya mengandung karbohidrat terlarut lebih rendah dari
hijauan sub tropis.
Prinsip
ensilase menurut McDonald (1981:11 ), pertama adalah pencapaian kondisi
anaerob, karena pada kondisi aerob akan terjadi aktivitas mikrobia aerob
sehingga bahan akan berjamur dan menghasilkan zat toksik. Prinsip kedua ialah
dengan menekan aktivitas bakteri clostridia
yang berkembang dengan cepat sebelum terjadi kondisi anaerob di dalam silo.
Proses ensilase ditentukan oleh interaksi tiga faktor : (1) komposisi kimia
tanaman, (2) kandungan udara yang ada dalam silo dan (3) aktivitas bakteri yang
ada (Ensminger et al. 1992:304). Untuk
mencegah berkembangnya Clostridia dalam silase dapat dilakukan dengan 1)
penggunaan hijauan yang banyak mengandung karbohidrat larut dalam air, 2)
mengurangi kemungkinan proses respirasi, 3) pelayuan, dan 4) penggunaan aditif ( Parakasi, 1999: 631).
Silase bisa
dibuat dari berbagai macam tanaman, ada yang ditanam sengaja untuk dibuat
silase maupun yang dibuat silase karena ketersediaan yang melimpah (McDonald,
1981: 20). Sisa-sisa pengolahan pangan seperti pengolahan jagung manis, kacang
kacangan, umbi umbian maupun sayuran juga bisa dibuat silase( Pond et al, 2005: 337). Jika silase dipotong
dan dibuat pada hari yang sama penurunan nutrien dapat diabaikan dan jika
pelayuan dilakukan hingga 24 jam penurunan nutrien berkisar 1-2% dari bahan kering
(McDonal, et al. 1987: 408).
Silase bisa
menjadi pakan utama untuk sapi potong dan sapi perah, terutama bila hijauan
tidak tersedia(Cullison, 1987: 245). Silase dapat dibuat dari berbagai jenis
hijauan dan limbah pertanian ( Efendi dkk, 2015 : 117). Seringkali dalam
pembuatan silase digunakan berbagai campuran bahan agar syarat proses ensilase
bisa terpenuhi dan dihasilkan silase yang berkualitas baik (Ensminger, 1992:
347).
Silase sangat
disukai oleh ternak terutama pada cuaca yang panas (Cullison, 1987: 245).
Menurut Parakassi (1999: 499),di daerah tropis silase lebih baik bagi ternak
sapi dibanding hay karena hay akan cepat rusak. Kelebihan silase lainnya yaitu:
1) memungkinkan ternak mengkonsumsi bagian batang hijauan, 2) lebih banyak
protein, karbohidrat dan karoten yang bisa diawetkan (Ensminger, 1992:334).
Di banyak
negara yang peternakannya maju, silase merupakan pakan kasar utama bagi sapi
potong dan perah (Cullison, 1987:244).
Ciri ciri
silase yang baik yaitu pH 4,0, kandungan air 60-70%, bau segar, warna hijau
masih jelas, tidak berlendir dan tidak tengik (Efendi dkk, 2015 : 119).
D. Starter/
additif
Starter silase bisa diklasifikasikan menjadi 2 jenis
yaitu stimulan yang berfungsi mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat dan
inhibitor yang fungsinya menghambat pertumbuhan mikrobia tertentu (McDonald et al, 1987:413). Penggunaan starter
dapat membuat silase yang sudah baik menjadi lebih baik lagi, tetapi tidak akan
membuat silase yang buruk menjadi baik (Parakasi, 1999: 633).
Penambahan bijian yang digiling bisa memperbaiki proses
fermentasi dan meningkatkan kualitas silase (Cullison, 1987: 243). Bijian dan
hasil samping pengolahan bijian akan meningkatkan TDN dan bahan kering jika
ditambahkan sebagai starter ( Ensminger, 1992: 351). Tujuan pemberian starter
dalam pembuatan silase antara lain, 1) mempercepat pembentukan laktat dan
asetat guna mencegah fermentasi berlebihan, 2) mempercepat penurunan pH dan 3)
merupakan suplemen untuk zat zat makanan yang defisien dalam hijauan yang
digunakan (Parakasi, 1999:633) . Pemberian starter ini dimaksudkan untuk
memastikan bakteri asam laktat mendominasi proses fermentasi sehingga silase
menjadi baik (McDonald, 1981:129).
Starter yang dipilih dalam penelitian adalah starter yang
mudah didapatkan di Pelaihari agar nantinya hasil penelitian bisa diaplikasikan
oleh peternak di sekitar sekolah. Gaplek, dedak halus dan jagung giling merupakan
bahan yang banyak mengandung karbohidrat . Starter masuk kategori bahan yang
tinggi kandungan karbohidratnya berguna untuk mensuplai energi bagi bakteri
asam laktat dan penting untuk ditambahkan pada bahan silase yang rendah
kandungan terlarutnya seperti legum (McDonald, 1981: 133).
BAB III PEMBAHASAN MASALAH
Kajian
ilmiah ini dilakukan mulai April 2018
dimulai dengan penimbangan sample batang pisang dan pembuatan silase. Silase
dibuka tanggal 25 April 2018 dan langsung dilakukan uji organoleptik. Sample silase
juga dikirim ke Laboratorium Balai Sertifikasi dan Pengujian Mutu Barang
Provinsi Kalimantan Selatan di
Banjarbaru untuk di uji kandungan proteinnya.
Kajian
ilmiah ini bertempat di SMK
SPP Negeri Pelaihari dengan sample dari kebun SMK SPP N Pelaihari. Pembuatan
silase dilakukan di unit pengolah pakan ternak SMK SPP N Pelaihari.
Kajian ilmiah dilakukan dengan melakukan penimbangan
sample batang pisang di kebun SMK SPP N Pelaihari. Batang pisang yang ada
adalah pisang ambon, pisang uli dan pisang kepok. Bagian yang diambil sample
adalah keseluruhan batang dan daun yang masih tersisa pada saat pisang ditebang
untuk diambil buahnya. Sample batang pisang ditimbang untuk mengetahui berat
tiap batangnya dan kemudian dicacah
dengan ukuran 3-5 cm
Gambar 3.1. Pencacahan batang pisang
Gamal yang digunakan untuk campuran batang pisang adalah
daun yang belum berbunga. Batang pisang dan gamal yang digunakan dijemur +/- 3 jam untuk menurunkan kadar airnya. Menurut
Parakasi (1999:653) waktu yang diperlukan untuk melayukan hijauan 1-2 jam pada
saat cahaya matahari cukup. Waktu yang digunakan lebih lama dibanding waktu
untuk melayukan hijauan karena kandungan air batang pisang lebih tinggi
dibanding hijauan.
Bahan starter untuk fermentasi yang digunakan adalah
bahan yang mudah didapatkan di Pelaihari, yaitu dedak halus, gaplek dan jagung
giling. Starter digunakan sebanyak 5% dari berat bahan.
Bahan silase tersusun atas 70% batang pisang dan 30%
gamal. Komposisi tersebut diperkirakan akan mendekati kandungan protein rumput
segar sehingga silase yang dibuat bisa menggantikan rumput segar sebagai
penyusun ransum ternak ruminansia.
Pembuatan silase dilakukan pada toples kaca agar
pengamatan lebih mudah dilakukan. Setiap toples diisi 2 kg campuran bahan
silase dan ditutup rapat.
Gambar 3.2. Pembuatan silase
Data kualitatif yang dikumpulkan dalam kajian ilmiah ini
adalah hasil uji organoleptik terhadap silase meliputi warna, aroma,
ada/tidaknya lendir dan jamur. Uji organoleptik dilakukan karena merupakan
parameter yang murah dan cepat
pengukuran kualitas silase. Untuk uji organoleptik pada kajian ilmiah ini yang
menjadi responden adalah siswa kelas X A program keahlian agribisnis peternakan
yang semuanya pernah membuat silase dan mengamati silase.
Data kuantitatif penelitian terdiri dari kandungan
protein silase bapigam. Kandungan protein dijadikan parameter untuk mengetahui
apakah silase hasil penelitian memiliki protein yang setara dengan rumput. Hal
ini didasari pertimbangan bahwa tujuan akhir pembuatan silase bapigam adalah
untuk mendapatkan silase yang bisa menggantikan rumput dalam ransum ternak
ruminansia.
Pengujian dilakukan secara organoleptik dan secara kimia
setelah proses ensilase selesai, yaitu 3 minggu setelah pembuatan.
A. Hasil
Uji Organoleptik
Uji organoleptik silase dilakukan pada saat silase dibuka
yaitu tanggal 25 April 2018.
Perlakuan
|
Warna
|
Aroma
|
Lendir
|
Jamur
|
Starter dedak halus
|
Kecoklatan dan kehijauan
|
Asam segar
|
+
|
+
|
Kecoklatan dan kehijauan
|
Asam segar
|
+
|
+
|
Kecoklatan dan kehijauan
|
Asam segar
|
+
|
+
|
Starter gaplek
|
Kecoklatan dan kehijauan
|
Asam segar
|
+
|
+
|
Kecoklatan dan kehijauan
|
Asam segar
|
+
|
+
|
Kecoklatan dan kehijauan
|
Asam segar
|
+
|
+
|
Starter jagung giling
|
Kecoklatan dan kehijauan
|
Asam segar
|
+
|
+
|
Kecoklatan dan kehijauan
|
Asam segar
|
+
|
+
|
Kecoklatan dan kehijauan
|
Asam segar
|
+
|
+
|
Hasil uji organoleptik yang dilakukan meliputi warna,
aroma, ada tidaknya lendir dan jamur. Warna silase terdiri dari kecoklatan pada
bagian batang pisang dan kehijauan pada bagian daun gamal, seperti terlihat
pada gambar 3.1. Perubahan warna silase
pada bagian batang pisang tidak tampak jelas tetapi pada bagian daun gamal
terjadi perubahan menjadi hijau kecoklatan ( seperti daun dikukus). Hal ini
karena pada proses ensilase terjadi pengubahan klorofil menjadi magnesium bebas
pigmen phaeophitin yang menyebabkan warna coklat terang. (McDonald et al, 1987:408 )
Gambar 3.1. Sampel silase pada kajian ilmiah
Jamur ditemukan pada bagian atas silase karena adanya
oksigen di bagian atas silase. Menurut Ensminger (1992: 342), kehilangan
nutrisi silase ada 4 macam yaitu 1) kerusakan/pembusukan permukaan, 2)
rembesan, 3) pembentukan gas dan pemanasan. Pada silase jagung, umumnya kerusakan
permukaan berkisar 7% (Pond et al, 2005: 337).
Lendir ditemukan pada bagian permukaan silase karena
kondisi kedap udara tidak tercapai pada bagian atas silase sehingga
memungkinkan berkembangnya bakteri Clostridia.
Bakteri Clostridia mampu tumbuh pada kondisi oksigen yang sangat rendah
(McDonald, 1981: 77).
Silase yang
dibuat beraroma asam segar. Aroma silase ini mengurangi aroma khas daun gamal
segar. Aroma asam segar juga menunjukkan bahwa silase yang dibuat merupakan
silase yang baik. Nutrisi yang diawetkan pada pembuatan silase mencapai 85%
atau lebih sedang pada pembuatan hay hanya maksimal 80%, bahkan 50-60% saja
bila kondisi tidak baik (Ensminger, 1992: 333).
Dari
keseluruhan pengujian organoleptik silase yang dibuat merupakan silase yang
baik, artinya silase bapigam bisa dibuat dengan starter gaplek, dedak halus
maupun jagung giling. Perbedaan bahan starter tidak berpengaruh pada kualitas
silase secara organoleptik.
Gambar 1. Pemberian silase pada sapi potong sekolah
Silase telah coba diberikan pada sapi milik sekolah. Baik
sapi potong maupun sapi perah yang mendapat silase menunjukkan bahwa sapi
menyukai silase bapigam. Namun pemberiannya belum menggunakan prosedur ilmiah
pengujian palatabilitas pakan sehingga untuk menyimpulkan tingkat
palatabilitasnya masih diperlukan kajian lanjutan. Salah satu karakteristik
silase yang baik adalah disukai ternak (Ensminger, 1992:355).
Selain diberikan pada sapi potong, silase batang
pisang dan gamal juga diberikan pada sapi perah untuk menihat palatabilitasnya.
Hasil menunjukkan bahwa sapi perah juga menyukai silase berbahan batang pisang
dan gamal tersebut.
Gambar 3. 2.
Pemberian silase pada sapi perah sekolah
B. Uji
Laboratorium
Setelah
dilakukan uji organoleptik, selanjutnya sampel dibawa ke Laboratorium untuk
dilakukan pengujian kadar protein
kasarnya. Pengujian dilakukan hanya untuk protein kasar karena keterbatasan
waktu dan dana. Pengujian protein selesai pada tanggal 9 Mei 2018.
Perlakuan
|
Kandungan Protein
Kasar (%)
|
Rata rata (%)
|
A
|
10,44
|
10,06
|
10,50
|
10,2
|
B
|
10,06
|
9,94
|
10,19
|
10,06
|
C
|
11,31
|
10,06
|
10,44
|
10,47
|
Rerata
|
10,24
|
Tabel 3.2. Kandungan protein kasar silase dengan berbagai starter
Hasil pengujian menunjukkan bahwa rata rata kandungan
protein kasar silase bapigam adalah
10,24%. Besarnya kadar protein kasar hasil kajian ilmiah lebih tinggi dibanding
kadar protein rumput gajah umur 43-56 hari yaitu sebesar 9,1 % (Hartadi
dkk,2005:92) . Faktor utama yang
berpengaruh pada kandungan protein kasar silase diduga adalah adanya gamal dan
rendahnya nitrogen yang hilang. Menurut McDonald (1981: ) nitrogen yang hilang
selama ensilase kira kira 15,2%. Menurut pendapat Cullison dan Lowrey (1987)
proses fermentasi menghasilkan gas NO dan NO2 .
Keterangan:
A: Silase dengan starter gaplek
B: Silase dengan starter dedak
C: Silase dengan starter jagung giling
Ilustrasi 4.1. Diagram Batang Kandungan Protein Silase
Hasil pengujian
kadar protein kasar selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 2. Besarnya perbedaan kadar protein kasar secara
statistik tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena proses ensilase batang
pisang dan gamal tetap terjadi dengan baik meskipun starter yang digunakan
berbeda. Menurut Ensminger et al
(1992), proses ensilase ditentukan oleh
tiga faktor yaitu : (1) komposisi kimia tanaman, (2) kandungan udara yang ada
dalam silo dan (3) aktivitas bakteri yang ada.
Kandungan protein
kasar yang tinggi pada gamal menyebabkan silase memiliki protein lebih tinggi
daripada protein rumput. Pencampuran batang pisang dan gamal dengan
perbandingan 7: 3 sudah menghasilkan silase yang kandungan protein yang lebih
tinggi dibandingkan rumput segar. Hal ini diduga karena gamal yang digunakan
merupakan gamal yang masa pertumbuhan awal. Menurut Hartadi dkk (2005: 80),
kandungan protein kasar gamal pada pertumbuhan awal adalah 25,7%. Legum
merupakan bahan pakan yang penting karena kemampuannya memfiksasi nitrogen dan
kandungan proteinnya yang tinggi
(McDonald, 1981: 34).
BAB IV KESIMPULAN
Dari hasil kajian ini bisa
disimpulkan bahwa silase batang pisang dan gamal memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan rumput
segar. Jadi peluang silase bapigam untuk digunakan sebagai pengganti rumput
segar dalam pakan cukup besar.
Starter tidak
mempengaruhi kualitas silase bapigam, jadi silase bapigam bisa dibuat dengan
berbagai macam starter. Hal ini berarti
bahwa aplikasi pembuatan silase ditingkat petani/peternak akan mudah karena
tidak tergantung pada ketersediaan starter tertentu.
Perlu dilakukan uji lebih lanjut terhadap silase bapigam
untuk mengetahui kandungan komposisi gizi yang lain, palatabilitas dan
kecernaannya pada ternak ruminansia agar silase bapigam bisa dikembangkan
sebagai salah satu alternatif bahan pakan ternak ruminansia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2015. Laporan akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah. Distantph.kalselprov.go.id. diunduh 11 Mei 2018
Cahyono, B. 2018. Sukses Budidaya Pisang di Pekarangan dan
Perkebunan. Lily Publisher. Yogyakarta
Cullison, A.E.
& Lowrey, R. S. 1987. Feeds and Feeding. Fourth Edition. (Page
234-245) A Resto Book Prentice Hall. Englewood Cliffs.
Efendi, dkk. 2015. Agribisnis
Produksi Ternak. BPSDMPK-PMP. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ensminger, M.E.,
et al. 1992. Feed and Nutrition. Second Edition. The Ensminger Publishing Company. Clovis. California.
Junaida, dkk. 2014. Buku Hasil Uji
Bahan Pakan dan Hijauan Pakan Ternak. BPSMP Ditjennak. Kementrian
Pertanian.
Mastika, Made. 2011. Potensi Limbah Pertanian dan Industri
Pertanian untuk Makanan Ternak. Udayana University Press. Denpasar
McDonald,
P. 1981.
The
Biochemistry of Silage. John Wiley and Sons.
Parakkasi, A.
1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminant. UI Press. Jakarta.
Prahasta, A. 2009. Agribisnis Pisang. Pustaka Grafika. Bandung
Pribadi, S.H. 2014. Penanaman Hijauan
Makanan Ternak yang Berkualitas. Tabloidsinartani.com 29 September 2014.
Diunduh 11 Mei 2018.
Rukmana,
R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak. (hal 51-57) Kanisius. Yogyakarta.