Minggu, 12 Agustus 2012
Minggu, 05 Agustus 2012
PENGOLAHAN JERAMI
Pakan kasar masih
menjadi pakan utama ternak ruminansia di Indonesia. Salah satu pakan kasar yang tersedia melimpah
adalah jerami, terutama jerami padi. Hal
ini karena jerami padi merupakan limbah pertanian tanaman pangan sebagian besar
penduduk Indonesia.
Produksi jerami padi
dapat mencapai 12-15 ton/hektar tiap panen tergantung lokasi dan varietasnya.
Jerami ini bisa digunakan untuk pakan kasar 2-3 ekor sapi dewasa sepanjang
tahun.
Penggunaan jerami
untuk pakan baru berkisar 31-39% dan 7-16% untuk industri.Dari keseluruhan
produksi jerami, sebagian besar masih dibakar dan dikembalikan ke tanah. Efek negatif dari pembakaran adalah polusi
lingkungan, mempengaruhi ekologi tanah dan hilangnya bahan organik
Komposisi kimia jerami padi meliputi
bahan kering 71,2%, protein kasar 3,9%, lemak kasar 1,8%, serat kasar 28,8%,
BETN 37,1% dan TDN 40,2%. Kandungan
lignin jerami berkisar 6-7% dan silikatnya 13%. Ternak yang hanya mendapatkan
jerami saja sebagai pakannya akan memiliki produktivitas rendah.
Untuk digunakan
sebagai pakan, jerami sebaiknya diolah lebih dahulu. Pengolahan jerami bisa berupa amoniasi,
hidrolisis dengan alkali maupun dengan fermentasi menggunakan mikrobia
tertentu.
1. Amoniasi Jerami
a. Pengertian
Amoniasi merupakan
cara pengolahan kimia dengan menggunakan amonia untuk meningkatkan daya cerna
bahan pakan berserat sekaligus meningkatkan kadar N (proteinnya).
Amoniasi biasanya
dilakukan pada bahan pakan asal limbah pertanian seperti berbagai jenis jerami
dan bahkan juga pada kulit kopi, tergantung pada potensi daerahnya.
b. Tujuan
Pembuatan amoniasi
bertujuan meningkatkan kualitas jerami yang rendah kandungan nutrisinya,
menjadi jerami yang kandungan nutrisinya memadai dan daya cernanya tinggi.
c.
Proses
Jerami merupakan
bagian tanaman yang telah tua yang memiliki kandungan lignin dan silikat yang
menyebabkan daya cerna ternak ruminansia terhadap jerami rendah.
Amoniasi jerami padi
adalah proses pengolahan jerami padi menggunakan amonia (misalnya urea) sebagai
sumber amonia dengan pemeraman pada kondisi anaerob. Proses ini merubah tekstur jerami menjadi
lunak dan rapuh sehingga mudah dicerna. Peningkatan kandungan protein juga
terjadi pada jerami amoniasi karena peresapan nitrogen dari urea. Proses ini
juga menghilangkan aflatoksin/ jamur dalam jerami.
Amonia dapat menyebabkan perubahan
komposisi dan struktur dinding sel sehingga membebaskan ikatan antara lignin
dengan selulosa dan hemiselulosa sehingga bisa dicerna oleh mikrobia rumen.
Amonia akan terserap dan berikatan dengan gugus asetil dari bahan pakan dan
bisa dimanfaatkan oleh mikrobia rumen.
Penggunaan urea dibatasi 4-6% karena
pada penggunaan <3% amonia tidak mampu memecah ikatan lignin. Pada
penggunaan > 6% amonia akan terbuang karena jerami tidak sanggup menyerapnya
jadi secara ekonomi tidak menguntungkan.
Penggunaan urea didasari pertimbangan
ekonomis dan juga lebih ramah lingkungan.
Sebenarnya sumber amonia lain seperti gas amonia bisa digunakan. Disini
jerami yang telah dimasukkan ke dalam wadah tertutup disemprot dengan gas
amonia.
d.
Kualitas
Untuk menghasilkan jerami amoniasi yang
berkualitas, maka dibutuhkan bahan yang berkualitas pula. Bahan dasar dari
pembuatan jerami amoniasi ini adalah jerami padi yang tersisa setelah
pemanenan. Jerami padi yang akan diamoniasi harus memenuhi beberapa kriteria
yaitu jerami harus dalam kondisi kering, tidak boleh terendam air sawah atau
pun air hujan, dan harus dalam keadaan baik (tidak busuk atau rusak).
Jerami yang telah
diamoniasi memiliki tekstur lunak dan rapuh, berwarna coklat tua, berbau amonia
dan tidak berjamur. Jika dilakukan
analisa proksimat maka kandungan protein kasarnya lebih dari 6%.
e.
Penggunaan
Hasil amoniasi harus
diangin-anginkan terlebih dahulu sebelum diberikan pada ternak. Tujuannya adalah untuk menghilangkan amoniak
dalam jerami. Untuk disimpan dalam jangka waktu yang
lama, jerami amoniasi harus dijemur atau dikeringkan 2-3 hari. Setelah
kering jerami dapat disimpan dibawah tempat teduh atau atap. Jangan sampai
terkena air hujan karena akan mengakibatkan pembusukkan. Jerami
yang sudah kering dapat disimpan selama selama 6 – 12 bulan tanpa penurunan
kualitas.
Bila cuaca tidak
memungkinkan untuk penjemuran, jerami amoniasi tidak perlu dikeluarkan dari
wadahnya. Keluarkan sesuai kebutuhan dan
angin anginkan sebelum diberikan pada ternak.
Jerami amoniasi
merupakan pakan yang miskin mineral. Ada
baiknya pemberiannya disertai dengan pemberian mineral secara teratur.
2. Hidrolisis
Jerami
Perlakuan lain untuk
memperbaiki kualitas jerami dilakukan dengan hidrolisis dengan larutan basa. Larutan basa bisa dibuat dengan NaOH atau
CaO.
Apabila jerami
direndam dalam larutan alkali, maka ikatan antara lignin dan selulosa dan
hemiselulosa dinding sel akan terhidrolisa sehingga karbohidrat akan lebih
tersedia bagi microorganisme dalam rumen. Perlakuan dengan alkali juga
meningkatkan tingkat konsumsi.
Awalnya proses ini
dilakukan di Jerman saat perang dunia I, jerami direndam selama 1 hingga 2 hari
dalam larutan NaOH (kaustik soda/soda api) 15-30 g/l dan kemudian dicuci untuk
menghilangkan residu alkalinya.
Proses ini
meningkatkan daya cerna jerami tetapi sebagian nutrien larut saat pencucian.
Kemudian dikembangkan metode kering dengan kandungan NaOH 10-40g/l. Daya cerna
jerami meningkat, dari 0,4 menjadi 0,5-0,7.
Alkali lain yang juga
efisiennya adalah kapur ( CaO 60% dan MgO 1.3%). Kapur sebanyak 40 gram dilarutkan dalam 10
liter air digunakan untuk merendam 1 kg jerami selama kurang lebih 48 jam (2
hari). Kemudian jerami dicuci dengan 5 liter air dan dikeringkan dengan sinar
matahari. Hasil penelitian Saadullah dkk (1981) ini meningkatkan kecernaan
bahan kering jerami dari 38 menjadi 49%. Jika pemberiannya pada domba disertai
10% molasses dan 2% urea dalam ransum, maka kecernaan ransum menjadi 54%.
3. Fermentasi Jerami
Selain proses kimia,
degradasi ikatan kimia pada jerami juga bisa dilakukan dengan fermentasi. Fermentasi adalah suatu cara pengawetan yang
menggunakan mikrobia tertentu untuk menghasilkan asam atau komponen lainnya
yang dapat menghambat mikrobia perusak lainnya.
Cara melakukan
fermentasi adalah dengan menambahkan bahan yang mengandung mikrobia
proteolitik, lignolitik, selulolitik, lipolitik dan bersifat fiksasi nitrogen
non simbiotik. Mikrobia tersebut kita
kenal dengan sebutan probiotik. Campuran berbagai mikro organisme tersebut berguna untuk
mempercepat proses pemecahan serat jerami padi, sehingga mudah dicerna oleh
ternak.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa komposisi jerami yang telah difermentasi dengan mikrobia
secara umum menunjukkan peningkatan kualitas.
Protein meningkat dari 4,23% menjadi 8,14% dan juga disertai penurunan
serat kasar.
Pembuatan fermentasi jerami dilakukan pada tempat yang
terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung. Dimana untuk kapasitas 10
ton dapat dibuat bangunan dengan ukuran 4 x 5 m. Lantai dasar dapat dibuat dari
semen atau tanah yang dipadatkan dan ditinggikan dari tempat sekitarnya, tanpa dinding.
Bahan bangunan menggunakan kayu atau bambu. Untuk atap dapat berupa seng atau
bahan yang tersedia di tempat. Jarak lantai ke atap 3 m.
Hasil fermentasi jerami yang baik ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
Ø Baunya khas
Ø Warnanya kuning agak
kecoklatan
Ø Teksturnya lemas(tidak kaku)
Ø Tidak busuk dan tidak berjamur
Fermentasi bisa juga dipadukan
dengan amoniasi. Starter yang digunakan
urea dan probiotik.
Jerami yang telah
difermentasi bisa diberikan sebagai pakan kasar bagi ternak sapi 6-8
kg/ekor/hari dengan penambahan
konsentrat 1% dari berat badan ternak. Hasil penelitian di Sulawesi Selatan menunjukkan
bahwa pertambahan berat badan sapi bali yang diberi jerami fermentasi lebih
tinggi dibandingkan sapi yang diberi rumput lapangan.
Administrator, 2010. Fermentasi
Jerami untuk Pakan Sapi. BPPT
Sumatera Barat. http://sumbar.litbang.deptan.go.id
diunduh 4 Maret 2012
Anonimous, 2012. Determine The Characteristics of Good Silage
and The Steps in Producing It. http://forages.oregonestate.edu/nfgc/eo/onlineforagecurriculum
/instructurmaterials/availabletopics/mechaninalharvest/silage
Cullison, A.E. & Lowrey, R. S. 1987. Feeds
and Feeding. Fourth Edition. A Resto Book Prentice Hall. Englewood Cliffs.
Drake, D.J. Nader, G., Forero, L. 2011. Feeding
Rice Straw to Cattle. University of California.
Ensminger, M.E. 1990. Animal Science. 8th Ed.
Interstate Publisher, Inc. Dannville
Kartasudjana, D.
2001. Mengawetkan Hijauan Pakan
Ternak. Modul Keahlian Budidaya Ternak. Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan.
McDonald, P, et al.
1987. Animal Nutrition. Fourth edition. Longman Group,LTd.
Nista, D. dkk. 2007. Teknologi
Pengolahan Pakan: UMB, fermentasi jerami,amoniasi jerami, silage, hay. http://bptu_sembawa.net/VI/data/download/20090816160949.pdf.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminant. UI Press. Jakarta.
Saribuang, M dkk. 2000. Pemanfaatan Probiotik dalam Fermentasi
Jerami Sebagai Pakan Sapi Bali Di Musim Kemarau. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian Gowa. Gowa
PEMBUATAN SILASE
Salah
satu kendala pada peternakan ruminansia adalah ketersediaan pakan kasar. Ketersediaan
pakan kasar berkualitas bagi ternak ruminansia di Indonesia sangatlah
fluktuatif. Pada musim hujan, hijauan berproduksi tinggi sehingga melimpah.
Sedangkan pada musim kemarau, hijauan merupakan pakan yang sulit didapat. Salah satu cara untuk mengawetkan hijauan
adalah dengan membuat silase.
a.
Pengertian
Silase adalah pakan yang berbahan
baku hijauan, hasil samping pertanian atau bijian berkadar air tertentu yang
telah diawetkan dengan cara disimpan dalam tempat kedap udara selama kurang
lebih tiga minggu. Penyimpanan pada kondisi kedap udara tersebut menyebabkan terjadinya fermentasi pada bahan
silase.
Tempat
penyimpanannya disebut silo. Silo bisa berbentuk horisontal ataupun vertical.
Pada peternakan skala besar, silo biasanya permanen. Bisa berbahan logam berbentuk
silinder ataupun lubang dalam tanah
(kolam beton). Tetapi silo juga bisa dibuat dari drum atau bahkan dari plastik
. Prinsipnya, silo memungkinkan untuk
memberikan kondisi anaerob pada bahan agar terjadi proses fermentasi.
Bahan
untuk pembuatan silase bisa berupa hijauan atau bagian bagian lain dari
tumbuhan yang disukai ternak ruminansia, seperti rumput, legume, biji bijian,
tongkol jagung, pucuk tebu, batang nenas dan lain-lain. Kadar air bahan yang
optimal untuk dibuat silase adalah
65-75% . Kadar air tinggi menyebabkan pembusukan dan kadar air terlalu rendah sering
menyebabkan terbentuknya jamur . Kadar air yang rendah juga meningkatkan suhu
silo dan meningkatkan resiko kebakaran.
Jika dibandingkan dengan pembuatan hay, pembuatan silase memiliki
kelebihan yaitu:
Ø Hijauan tidak mudah rusak oleh
hujan pada waktu dipanen
Ø Tidak banyak daun yang terbuang
Ø Silase umunya lebih mudah dicerna
dibandingkan hay
Ø Karoten dalam hijauan lebih terjaga
dengan dibuat silase dibanding hay
Sedangkan kelemahan pembuatan silase adalah perlunya ongkos panen,
perlunya mengisi silo dan biaya pembuatan silo sebagai tempat penyimpanan
b.
Tujuan
Tujuan
pembuatan silase adalah untuk mengawetkan hijauan atau bijian yang berlimpah
untuk digunakan pada saat kesulitan untuk mendapatkan hijauan tersebut. Di negara
yang memiliki 4 musim silase sangat popular bagi peternak ruminansia karena
tanaman hanya berproduksi pada musim tertentu. Jadi silase bisa menjadi
cadangan pakan untuk ternak mereka.
Di
Indonesia, hijauan melimpah pada musim hujan dan kurang pada musim kemarau.
Tetapi pengawetan hijauan seperti dengan pembuatan silase belum banyak
dilakukan oleh peternak skala kecil di negara kita. Akibatnya peternak kita sering mengalami
kesulitan penyediaan pakan bagi ternaknya.
Di
Kalimantan Selatan, salah satu tanaman yang banyak dibudidayakan dan bisa
digunakan sebagai pakan tetapi belum
banyak pemanfaatannya adalah kelapa sawit.
Penggunaan daun dan pelepah kelapa sawit sudah banyak diteliti oleh para
ahli. Kita bisa membuatnya menjadi silase.
c.
Proses Ensilase
Agar berhasil membuat silase,
kita harus memahami proses ensilase. Proses ensilase yaitu proses selama
pembuatan silase. Proses ini memerlukan
waktu 2-3 minggu.
Setelah suatu produk pertanian dipanen, misalnya rumput dipotong, proses
respirasi akan tetap terjadi sampai sel sel tanaman mati. Respirasi merupakan
pengubahan karbohidrat menjadi energi maka apabila berjalan lama akan
menurunkan kandungan karbohidrat pakan. Proses respirasi memerlukan oksigen
sehingga untuk menghentikan proses ini dapat dilakukan dengan menempatkan bahan
pada kondisi anaerob. Oleh karena itu
kita memampatkan bahan silase dan menutup rapat silo agar proses respirasi
tidak berlangsung lama.
Hijauan biasanya dipotong 3-5 cm sebelum dibuat silase. Tujuannya agar
lebih mudah memampatkannya. Apabila
pemampatan maksimal, maka oksigen dalam silo akan rendah sehingga respirasi
cepat terhenti.
Setelah respirasi terhenti, proses yang terjadi selanjutnya adalah
fermentasi. Proses ini menyebabkan
turunnya pH (derajat keasaman) bahan baku silase hingga tidak ada lagi
organisme yang bisa tumbuh. Proses fermentasi bisa terjadi karena adanya
bakteri pembentuk asam laktat yang mengkonsumsi karbohidrat dan menghasilkan
asam laktat. Asam laktat akan terus
diproduksi hingga tercapai pH yang rendah (<5) yang tidak memungkinkan
bakteri beraktifitas lagi dan tidak ada lagi perubahan . Keadaan inilah yang disebut keadaan
terfermentasi, dimana bahan dalam keadaan tetap atau awet. Pada kondisi anaerob
silase dapat disimpan bertahun-tahun.
Contoh bakteri asam laktat diantaranya adalah Streptococcus thermophillus, Streptococcus lactis, Lactobacillus
lactis, Leuconostoc mesenteroides .
Selain bakteri pembentuk asam laktat, dalam bahan baku silase terdapat
juga bakteri Clostridia. Bakteri ini mengkonsumsi karbohidrat,
protein dan asam laktat sebagai sumber energi dan memproduksi asam
butirat. Bakteri ini merugikan karena
menguraikan asam amino (menurunkan kandungan protein dan menghasilkan ammonia)
sehingga menyebabkan pembusukan silase. Keadaan yang mendukung pertumbuhan bakteri
Clostridia adalah tingginya kadar air,
terlalu lamanya proses respirasi, kurangnya bakteri asam laktat dan rendahnya
karbohidrat. Inilah yang menyebabkan perlunya pelayuan bila kadar air bahan
lebih dari 75% dan bahan tambahan dalam pembuatan silase hijauan.
Bahan tambahan untuk pembuatan silase dibedakan menjadi 2 jenis yaitu
stimulant dan inhibitor. Bahan yang
masuk kategori stimulant adalah bahan pakan sumber karbohidrat seperti
molasses, onggok, dedak halus atau ampas sagu. Molasses dan onggok bisa
ditambahkan sebanyak 2,5 % dari berat hijauan. Sedangkan kalau dedak halus
sebanyak 5% dan kalau menggunakan ampas sagu diperlukan 7% dari berat hijauan. Urea
juga bisa ditambahkan untuk meningkatkan kandungan protein silase berbahan baku
jagung. Bahan stimulant lain yang juga
bisa dipakai adalah enzim atau mikrobia yang biasa dijual di pasaran.
Sedangkan bahan yang masuk kategori inhibitor diantaranya asam format,
asam klorida, antibiotik, asam sulfat
dan formalin. Penambahan inhibitor bermanfaat untuk proses ensilase tetapi
masih asing bagi petani kita. Bahan stimulant lebih mudah didapatkan, harganya
juga lebih murah dan lebih ramah lingkungan.
Jadi prinsip pembuatan silase yang utama adalah:
Ø Menghentikan pernapasan dan
penguapan sel sel tanaman
Ø Mengubah karbohidrat menjadi asam
laktat melalui proses fermentasi kedap udara
Ø Menahan aktivitas enzim dan
bakteri pembusuk
Ø Mencapai dan mempercepat keadaan
hampa udara (anaerob)
d.
Kualitas Silase
Silase yang baik biasanya berasal dari pemotongan hijauan tepat waktu
(menjelang berbunga), pemasukan ke dalam silo dilakukan dengan cepat,
pemotongan hijauan dengan ukuran yang memungkinkannya untuk dimampatkan,
penutupan silo secara rapat (tercapainya kondisi anaerob secepatnya) dan tidak
sering dibuka.
Silase yang baik beraroma dan berasa asam, tidak berbau busuk. Silase
hijauan yang baik berwarna hijau kekuning-kuningan. Apabila dipegang terasa
lembut dan empuk tetapi tidak basah (berlendir) . Silase yang baik juga tidak
menggumpal dan tidak berjamur. Bila dilakukan analisa lebih lanjut, kadar
keasamanya (pH) 3,2-4,5.
Apabila terlihat adanya jamur, warna kehitaman, berair dan aroma tidak
sedap berarti silase berkualitas rendah.
e.
Penggunaan Silase
Silase bisa digunakan sebagai salah satu atau satu satunya pakan kasar
dalam ransum sapi potong . Pemberian
pada sapi perah sebaiknya dibatasi tidak lebih 2/3 dari jumlah pakan kasar. Silase juga merupakan pakan yang bagus bagi
domba tetapi tidak bagus untuk kuda maupun babi. Silase merupakan pakan yang
disukai ternak terutama bila cuaca panas.
Apabila ternak kita belum terbiasa mengkonsumsi silase, maka
pemberiannya sedikit demi sedikit dicampur dengan hijauan yang biasa dimakan.
Anonimous,
2012. Determine The Characteristics of
Good Silage and The Steps in Producing It. http://forages.oregonestate.edu/nfgc/eo/onlineforagecurriculum
/instructurmaterials/availabletopics/mechaninalharvest/silage
Cullison, A.E. & Lowrey, R. S. 1987. Feeds
and Feeding. Fourth Edition. (Page 234-245) A Resto Book Prentice Hall.
Englewood Cliffs.
Drake, D.J. Nader, G., Forero, L. 2011. Feeding
Rice Straw to Cattle. University of California.
Ensminger, M.E. 1990. Animal Science. 8th Ed.
Interstate Publisher, Inc. Dannville
Ensminger, M.E., et al. 1992. Feed and Nutrition. Second
Edition. The Ensminger Publishing
Company. Clovis. California.
Hanafi, ND. 2008. Teknologi
Pengawetan Pakan Ternak. Universitas Sumatera Utara.
Kartasudjana, D.
2001. Mengawetkan Hijauan Pakan
Ternak. Modul Keahlian Budidaya Ternak. Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan. http://files.ictpamekasan.nett/materi-kejuruan/pertanian/budi-daya-ternakruminansia/mengawetkan-hijauan-pakan.pdf
McDonald, P, et al.
1987. Animal Nutrition. Fourth edition. (Page 404-415) Longman Group,LTd.
Nista, D. dkk. 2007. Teknologi
Pengolahan Pakan: UMB, fermentasi jerami,amoniasi jerami, silage, hay. http://bptu_sembawa.net/VI/data/download/20090816160949.pdf.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminant. UI Press. Jakarta.
Rukmana,
R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak. (hal 51-57) Kanisius. Yogyakarta.
Sabtu, 04 Agustus 2012
PEMBUATAN HAY
Produksi hijauan
disaat berlimpah hendaknya disimpan dengan berbagai cara pengawetan antara lain
dibuat menjadi hay. Di negara negara
maju, hay dibuat dari hijauan dikeringkan dan lalu digulung dengan menggunakan mesin.
Prinsip dasar dari
pengawetan dengan cara dibuat hay adalah dengan mengeringkan hijauan baik
menggunakan sinar matahari maupun menggunakan mesin pengering. Kandungan air
hay ditentukan maksimal sebesar 15-20%, hal ini dimaksud agar hijauan saat
disimpan sebagai hay tidak ditumbuhi jamur. Jamur akan merusak kualitas hay
sehingga tidak disukai ternak dan tidak bisa
diberikan pada ternak karena adanya mikotoksin. Toleransi kandungan air hay
tergantung pada kelembaban, kepadatan gulungan dan sirkulasi udara.
Tujuan pembuatan hay
adalah untuk penyediaan hijauan untuk pakan ternak pada saat ketersediaan
hijauan segar berkurang.
Di negara negara sub
tropis hay dan silase merupakan pakan yang dapat diperjual belikan jadi
merupakan komoditas yang dapat diperdagangkan.
Tetapi hay relatif mudah untuk pengangkutan dibandingkan silase. Hay
tidak memerlukan kondisi anaerob selama penyimpanan dan pengangkutan.
Proses pengeringan
yang berlangsung terlalu lama akan mengakibatkan kehilangan nutrisi dan
memudahkan tumbuhnya jamur. Pengeringan yang berlebihan juga akan menurunkan kualitas
hay karena daun mudah patah. Pada saat pengeringan kandungan karoten hijauan
akan turun dari 150-200 mg/kg pakan menjadi 2-20 mg/kg pakan. Tetapi
pengeringan dengan sinar matahari bermanfaat untuk iradiasi pro vitamin D hijauan.
Kehilangan nutrien mudah larut juga bisa terjadi bila selama pengeringan
terjadi hujan.
Pengeringan dengan
sinar matahari bisa dengan menghampar hijauan di lahan, dengan menggunakan para
para atau kaki tiga (tripod).
Pemotongan
hijauan untuk dibuat hay, yang terbaik adalah saat hijauan menjelang berbunga. Tetapi untuk pembuatan hay diperlukan sinar
matahari sehingga pemotongannya harus mempertimbangkan keadaan cuaca.
Gambar 4.3.
Pembentukan pellet dari hay. Sumber sunhat.com
|
Semakin
cepat proses pengeringan berlangsung hay akan makin baik. Tetapi apabila tidak
tersedia pengering dan cuaca kurang mendukung untuk proses pengeringan, maka
penambahan bahan pengawet mungkin diperlukan.
Adapun macam macam pengawet yang dapat dipakai antara lain garam dapur,
asam propionat dan amonia cair.
Garam
sebagai pengawet diberikan 1-2% akan dapat mencegah timbulnya panas karena
kandungan uap air, juga dapat mengontrol aktivitas mikroba, serta dapat menekan
pertumbuhan jamur. Asam propionat
berfungsi sebagai fungisidal dan fungistalik yaitu mencegah dan memberantas
jamur yang tumbuh serta tidak menambah jumlah jamur yang tumbuh. Pemberiannya adalah sebanyak 1% dari berat hijauan
yang dipak. Amonia cair juga berfungsi sebagai fungisidal dan pengawet,
mencegah timbulnya panas, meningkatkan kecernaan hijauan tersebut dan
memberikan tambahan N bukan protein. Penggunaan
pengawet memungkinkan hay disimpan dalam kadar air yang lebih tinggi.
Setelah
dalam penyimpanan, gas amonia juga bisa digunakan untuk memperbaiki nutrien
hay. Caranya sama dengan yang dilakukan
untuk yang biasa dilakukan pada jerami. Hay yang ada di wadah disemprot dengan gas amonia melalui lobang.
Gambar
4.4. Hay yang berkualitas tinggi (kiri) dan rendah (kanan) http://en.wiki pedia.org/wiki/hay
Rata rata hay memiliki
kandungan serat kasar 25 – 32% dan TDN
45-55%. Hay yang berkualitas baik
memiliki ciri ciri sebagai berikut:
Ø Warnanya
hijau kekuningan dan cerah
Ø Baunya
tidak tengik
Ø Tekstur/keadaan
fisiknya tidak terlalu kering, sehingga tidak mudah patah
Ø Tidak
berjamur atau ada kontaminasi pasir, tanah dll
Jika dibandingkan
dengan silase, hay lebih mudah ditangani pada saat penyimpanan dan pengangkutan
karena tidak memerlukan kondisi anaerob.
Disamping itu, hay lebih ringan untuk diangkut karena kadar airnya
rendah.
Tetapi bila penanganan
tidak tepat, akan lebih banyak daun yang hilang. Hay mudah terbakar , jika
disimpan di gudang yang suhunya diatas 600C, resiko kebakaran lebih
tinggi. Pembuatan hay secara
konvensional memerlukan panas matahari sehingga tergantung pada kondisi cuaca.
Anonimous, 2012. Determine The Characteristics of Good Silage and The Steps in Producing
It. http://forages.oregonestate.edu/nfgc/eo/onlineforagecurriculum
/instructurmaterials/availabletopics/mechaninalharvest/silage
Cullison, A.E. & Lowrey, R. S. 1987. Feeds
and Feeding. Fourth Edition. A Resto Book Prentice Hall. Englewood Cliffs.
Drake, D.J. Nader, G., Forero, L. 2011. Feeding
Rice Straw to Cattle. University of California.
Ensminger, M.E. 1990. Animal Science. 8th Ed.
Interstate Publisher, Inc. Dannville
Kartasudjana, D.
2001. Mengawetkan Hijauan Pakan
Ternak. Modul Keahlian Budidaya Ternak. Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan.
McDonald, P, et al.
1987. Animal Nutrition. Fourth edition. Longman Group,LTd.
Nista, D. dkk. 2007. Teknologi
Pengolahan Pakan: UMB, fermentasi jerami,amoniasi jerami, silage, hay. http://bptu_sembawa.net/VI/data/download/20090816160949.pdf.
Parakkasi,
A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI Press. Jakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)