Kamis, 31 Mei 2012

KOMPONEN ISI BAHAN AJAR


Menurut Degeng (2008: 5) hakekat pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa dan perancangan pembelajaran merupakan penataan upaya tersebut agar muncul perilaku belajar. Penataan tersebut dilakukan oleh pembelajar dengan mengorganisasikan pembelajaran sesuai teori teori belajar serta mendesain pembelajaran yang dapat menimbulkan minat dan memotivasi pebelajar ( Uno, 2010: 82).
Kondisi eksternal yang berpengaruh pada belajar yang penting adalah bahan belajar, suasana belajar, media dan sumber belajar dan pembelajar                 ( Dimyati dan Mudjiono,1999: 33). Sumber sumber belajar bisa guru / dosen /widya iswara, buku ajar, orang, televise, VCD, radio-kaset, majalah, koran, internet, CD ROM, lingkungan atau bahkan temannya sendiri ( Dwiyogo, 2008: 16). Ukuran keberhasilan  pembelajaran adalah terjadinya interaksi antar pebelajar dengan sumber belajar. Menyusun sumber belajar yang membuat pebelajar termotivasi untuk berinteraksi dengan sumber belajar merupakan tugas desainer.
Menurut Amri dan Ahmadi (2010: 157) bahan ajar disusun dengan tujuan: 1) menyediakan bahan belajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik, 2) membantu peserta didik dalam memperoleh alternatif bahan ajar dan 3) memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Kekhususan buku ajar juga dapat dilihat pada orientasinya yang memungkinkan pebelajar mampu mengembangkan kemampuan belajarnya secara optimal sebab: 1) disusun menurut struktur dan urutan isi yang sistematis, 2) menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, 3) menumbuhkan motivasi belajar pebelajar, 4) mengantisipasi kesulitan belajar dan 5) menyediakan rangkuman serta balikan (Dwiyogo, 2008:23). Pemberian rangkuman memiliki pengaruh yang efektif pada perolehan belajar (Degeng, 1989:198).
Hal penting dalam merancang bahan ajar adalah bahwa organisasi isi bahan ajar harus berpijak pada karakteristik struktur isi mata pelajaran, sehingga dapat meningkatkan perolehan belajar dan retensi daripada sekedar mengikuti urutan buku teks (Degeng, 1989: 195). Untuk memperbaiki desain bahan ajar, pengetahuan tentang perbedaan individu perlu diintegrasikan dan dihubungkan dengan proses desain, sehingga bahan ajar tidak hanya fleksibel tetapi juga mendukung perbedaan dan mampu mengakomodasi gaya belajar yang berbeda beda(McLoughlin, 1999: 222-241). 
Bahan ajar bisa dinilai kesesuaiannya untuk dipakai dengan melihat apakah 1) urutan isinya tepat, 2) memotivasi pebelajar, 3) ada partisipasi dan latihan untuk pebelajar, 4) menyediakan umpan balik, 5) tersedianya penilaian yang tepat, 6) ada petunjuk untuk tidak lanjut termasuk cara mempermudah memori dan transfer, 7) sistem penyampaian dan format media sesuai dengan tujuan dan konteks pembelajaran dan 8) adanya petunjuk bagi pebelajar untuk mengarahkan pebelajar dari satu komponen atau aktivitas ke komponen atau aktivitas selanjutnya       (Dick ,et al, 2001: 247).
Menurut Degeng (2008; 1-3) bagian pendahuluan dalam bahan ajar sebaiknya memasukkan kerangka isi, tujuan, deskripsi singkat, relevansi isi bab dan kata kata kunci.  Sedang bagian isi terdiri dari judul, uraian atau penjelasan, ringkasan dari konsep atau prinsip yang dipelajari dan latihan. 
Tujuan pembelajaran dicantumkan dalam bahan ajar dengan tujuan memotivasi siswa dalam melakukan proses belajar dalam upaya mencapai kompetensi yang diharapkan (Pribadi, 2010: 18).
Rangkuman memungkinkan pebelajar mempelajari kembali bagian yang penting dari suatu topik pelajaran.Pemberian rangkuman akan dapat membantu pebelajar memahami pokok pokok isi pembelajaran, baik dalam bentuk susunan atau hubungan antar konsep atau prinsip, sehingga pemberian rangkuman akan menambah retensi ( Gani dalam Irpan, 2008).  
Latihan yang dilakukan dalam berbagai konteks dapat memperbaiki tingkat daya ingat dan retensi. Latihan juga dapat memperbaiki kemampuan siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan yang baru dipelajari (Pribadi,  2010: 20).
 Tindak lanjut berisi umpan balik kepada pebelajar. Fungsi umpan balik dalam bahan ajar adalah agar siswa mampu mengukur kemampuannya sendiri. Bagi yang telah menguasai materi disarankan untuk mengembangkan pengetahuan yang telah diperolehnya. Sedangkan bagi yang belum, disarankan untuk mengulangi bagian yang masih sulit ( Prastowo, 2011: 159). Umpan balik dapat diberikan dalam bentuk pengetahuan tentang hasil belajar yang telah dicapai pebelajar setelah menempuh program dan aktivitas pembelajaran.  Informasi dan pengetahuan tentang hasil belajar akan memacu seseorang untuk berprestasi lebih baik lagi ( Pribadi, 2010: 20).
Daftar pustaka dicantumkan dalam bahan ajar agar pebelajar yang ingin mengetahui lebih lengkap  atau lebih jauh tentang suatu persoalan dari sumber referensi tertentu dapat dilacak keberadaannya ( Prastowo, 2011: 161). Bagi siswa SPP daftar pustaka (sumber pendukung) juga bisa memberikan wawasan bahwa apa yang ada dalam bahan ajar bukanlah satu-satunya sumber belajar.  Hal ini mengingat penerapan teknologi dalam pengolahan pakan bersifat aplikatif.  Makin banyak pengetahuan pendukungnya maka akan makin mempermudah aplikasinya dalam berbagai situasi.

Rujukan:
Degeng, INS. 2008.  Pedoman Penyusunan Bahan Ajar. Bahan Kuliah. Universitas PGRI Adi Buana. Surabaya.
Dick, W., Carey, L., dan Carey, J.O. 2001. The Systematic Design of Instruction. Fifth Edition. New York : Longman.

Dwiyogo, W.D.  2008.  Aplikasi Teknologi Pembelajaran: Pengembangan Media Pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Malang: Universitas Negeri Malang. 

Prastowo, A. 2011.  Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.  Yogyakarta : DIVA Press.
Pribadi, B. A.  2009.  Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat.

Minggu, 27 Mei 2012

KARAKTERISTIK SISWA

Yang menjadi penentu apa yang akan dipelajari bukan hanya perancang pembelajaran tetapi juga karakteristik pebelajar, bagaimana pembelajaran akan dilakukan dan penggunaan ketrampilan tersebut nantinya (Dick, et al, 2001: 95). Karakteristik pebelajar adalah segi segi latar belakang pengalaman pebelajar yang berpengaruh terhadap efektivitas proses belajarnya ( Seels and Richey, 1994:32). Karakteristik pebelajar merupakan salah satu variable kondisi pembelajaran. Karakteristik bisa berupa bakat, minat, sikap, motivasi belajar, gaya belajar, kemampuan berpikir dan kemampuan awal yang telah dimilikinya                           ( Uno, 2006: 58).
Mengenali tingkah laku masukan dan ciri-ciri siswa merupakan langkah awal yang sangat penting dalam merancang pengajaran bagi suatu populasi sasaran  tertentu ( Munandir , 1987: 112) Informasi yang diperlukan oleh desainer pembelajaran tentang warga belajar yang akan menggunakan rancangannya meliputi (1) pengetahuan awal, (2) pengetahuan tentang materi pelajaran, (3) sikap terhadap isi dan strategi pembelajaran yang akan digunakan, (4) motivasi akademik, (5) tingkat pendidikan dan kemampuan , (5) pilihan atau preferensi terhadap cara belajar tertentu, (6) sikap pada organisasi sekolah, dan (7) karakteristik kelompok (Dick, et al, 2001: 97).  Kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pengetahuan awal adalah pre test secara lisan maupun tulis.
Menurut Smaldino et al. (2008:9) pembelajar bisa memaksimalkan penggunaan teknologi dan media apabila pembelajar memahami bagaimana pebelajar belajar.   Anak remaja telah memiliki kemampuan untuk memperbaiki, menganalisa, membandingkan dan memutarbalikkan hubungan yang abstrak          ( Djiwandono, 2004: 98). Mereka juga sudah mampu untuk memberikan alasan yang masuk akal tentang situasi dan kondisi yang tidak dialami.  Remaja dapat menerima pikiran pikiran orang lain demi menjaga ketertiban diskusi.

Siswa yang mengetahui kegunaan pengetahuan dan ketrampilan yang dipelajari akan memiliki motivasi tinggi untuk mencapai tujuan pembelajaran         ( Pribadi, 2009: 21). Selain itu, motivasi intrinsik untuk belajar sesuatu dipertinggi oleh penggunaan materi yang menarik dan juga dengan berbagai cara penyampaian materi pembelajaran (Djiwandono, 2004:360).

Sabtu, 26 Mei 2012

MODEL RANCANGAN PEMBELAJARAN DICK AND CAREY


Menurut Gafur dalam Soeharto ( 1988: 12) definisi desain instruksional adalah keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan teknik mengajar untuk memenuhi kebutuhan tersebut.  Termasuk didalamnya adalah pengembangan paket pembelajaran, kegiatan mengajar, uji coba, revisi, dan kegiatan mengevaluasi hasil belajar.
Perancangan bahan pembelajaran dan lingkungan belajar bisa berpedoman pola pikir dan prosedur yang berbeda ( Molenda & Boling, 2008:103).
Perancangan pembelajaran dapat dijadikan titik awal upaya perbaikan kualitas pembelajaran.  Ini berarti bahwa perbaikan kualitas pembelajaran harus diawali dari perbaikan kualitas desain pembelajaran dan merancang pembelajaran dengan pendekatan sistem (Degeng, 1999: 2).  Desain sistem pembelajaran merupakan proses sistematik yang dilakukan dengan menerjemahkan prinsip prinsip belajar dan pembelajaran untuk diaplikasikan ke dalam bahan ajar dan kegiatan pembelajaran (Pribadi, 2009: 82).
Hakikat pendekatan sistem adalah membagi proses perencanaan pembelajaran kedalam langkah langkah, menyusun langkah langkah secara logis dan menggunakan hasil tiap tiap langkah sebagai masukan langkah berikutnya        ( Molenda & Boling, 2008:104).
Ada banyak model desain yang menggunakan pendekatan sistem. Desain tersebut berbeda dalam jumlah  dan nama langkah langkahnya, serta fungsi masing masing langkah yang direkomendasikan ( Molenda & Boling, 2008:110). 
Komponen sekaligus merupakan langkah-langkah utama dari model desain sistem pembelajaran yang dikemukakan oleh Dick dan Carey  dalam Dick, et al,. (2001) terdiri atas :
1.    Mengidentifikasi tujuan pembelajaran
2.    Melakukan analisis pembelajaran
3.    Menganalisis karakteristik siswa dan konteks pembelajaran
4.    Merumuskan tujuan pembelajaran khusus
5.    Mengembangkan instrumen penilaian
6.    Mengembangkan strategi pembelajaran
7.    Mengembangkan dan memilih materi ajar
8.    Merancang dan mengembangkan evaluasi formatif
9.    Melakukan revisi terhadap program pembelajaran
10.    Merancang dan mengembangkan evaluasi sumatif
Langkah-langkah pengembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.    Mengidentifikasi tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran idealnya diperoleh dari analisa kebutuhan yang benar benar  mengindikasikan adanya suatu masalah yang pemecahannya adalah dengan memberikan pembelajaran (Dick, et al, 2001: 19).
Sasaran akhir dari suatu pembelajaran adalah tercapainya tujuan  pembelajaran umum, oleh karena itu dalam merancang pembelajaran harus memperhatikan secara mendalam rumusan tujuan pembelajaran umum yang akan ditentukan.
2.    Melakukan analisis pembelajaran
Tujuan utama analisis pembelajaran adalah mengidentifikasi pengetahuan dan ketrampilan yang harus ada pada pembelajaran (Dick, et al, 2001: 37) Karena prosesnya relatif  kompleks, analisis pembelajaran terhadap tujuan pembelajaran umum dapat dilakukan melalui dua tahap : 1) menggolongkan pernyataan tujuan umum menurut jenis kapabilitas belajar. 2) melakukan analisa lanjutan untuk mengidentifikasi ketrampilan bawahan.  Keduanya merupakan proses analisa pembelajaran. 
Pembelajaran ketrampilan psikomotor biasanya memerlukan perpaduan ketrampilan intelektual dan ketrampilan motorik.  Langkah pertama untuk analisa dilakukan dengan menerapkan prosedur analisis hierarkis (Dick, et al, 2001: 81).
3.    Menganalisis karakteristik siswa dan konteks pembelajaran
Selain melakukan analisis tujuan pembelajaran, hal penting yang perlu dilakukan dalam menerapkan model ini adalah analisis terhadap karakteristik siswa yang akan belajar dan konteks pembelajaran. Kedua langkah ini dapat dilakukan secara bersamaan atau paralel. Analisis konteks meliputi kondisi-kondisi terkait dengan keterampilan yang dipelajari oleh siswa dan situasi yang terkait dengan tugas yang dihadapi oleh siswa untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari. Analisis terhadap karakteristik siswa meliputi kemampuan aktual yang dimiliki oleh siswa, gaya belajar, dan sikap terhadap aktivitas belajar. Identifikasi yang akurat tentang karakteristik siswa yang akan belajar dapat membantu perancang program pembelajaran dalam memilih dan menentukan strategi pembelajaran yang akan digunakan.
4.    Merumuskan tujuan pembelajaran khusus
Perumusan tujuan khusus pembelajaran merupakan pernyataan tentang apa yang akan dicapai siswa setelah mereka selesai mengikuti kegiatan pembelajaran. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran khusus, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu :
a.       menentukan pengetahuan dan keterampilan yang  dimiliki oleh siswa setelah menempuh proses pembelajaran.
b.      kondisi yang diperlukan agar siswa dapat melakukan unjuk kemampuan dari pengetahuan yang telah dipelajari. Komponen kondisi dalam tujuan pembelajaran khusus menyebutkan sesuatu yang secara khusus diberikan atau tidak diberikan ketika pebelajar menampilkan perilaku yang ditetapkan dalam tujuan (Degeng, 1999: 2).  Komponen kondisi bisa berupa bahan dan alat, informasi dan lingkungan.
c.       indikator atau kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam menempuh proses pembelajaran. Kriteria yang relevan tersebut dapat berupa kecermatan, waktu (kecepatan), kesesuaian dengan prosedur, kuantitas atau kualitas hasil akhir (Degeng, 1999: 5).
5.    Mengembangkan instrumen penilaian
Berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan, langkah selanjutnya adalah mengembangkan alat atau instrumen penilaian yang mampu mengukur pencapaian hasil belajar siswa. Yang perlu diperhatikan dalam menentukan instrumen evaluasi yang akan digunakan adalah instrumen harus dapat mengukur performa siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.  Beberapa tujuan pembelajaran  tidak bisa diukur dengan tes obyektif tetapi harus diukur unjuk kerja dengan pengamatan penilai.  Untuk membuat instrumen penilaian ini harus dilakukan pemberian skor untuk tiap langkah yang dilakukan oleh pebelajar (Dick, et al, 2001:173).
Tes acuan patokan disusun secara langsung untuk mengukur tingkah laku yang digambarkan dalam tujuan. Ada empat jenis tes acuan patokan :
a.       Tes perilaku awal atau entry behavior test.  Tes ini diberikan sebelum mulai pembelajaran. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah pebelajar telah menguasai ketrampilan yang menjadi prasyarat bagi pembelajaran.
b.      Tes pendahuluan atau pre test, adalah tes acuan patokan yang diperlukan untuk mengetahui profil pebelajar sehubungan dengan analisis pembelajaran. Pre test tidak selalu harus dilakukan.  Pada saat topic yang akan dipelajari merupakan sesuatu yang baru, maka hasilnya pre test kadang tidak bisa menggambarkan kemampuan pebelajar yang sebenarnya. Hal ini karena pebelajar mungkin menebak jawaban tes.
c.       Latihan adalah tes yang bertujuan untuk membuat pebelajar berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Latihan bisa membuat pebelajar mengulang kembali pengetahuan dan ketrampilan baru sekaligus menilai tingkat pemahaman dan ketrampilannya sendiri. Pembelajar menggunakan hasil latihan untuk memberikan umpan balik dan memonitor kecepatan pembelajaran.
d.      Post test adalah tes acuan patokan yang mencakup seluruh tujuan pembelajaran yang mencerminkan hasil belajar yang dilakukan siswa. Meskipun begitu, tujuan awal post test adalah untuk mengidentifikasi bagian pembelajaran yang tidak berhasil.
Keempat jenis tes itu dimaksudkan untuk digunakan selama proses desain pembelajaran (Dick, et al, 2001: 147-148).
Item tes dan tugas harus sesuai dengan : 1) tujuan sementara dan tujuan akhir pembelajaran, 2) karakteristik dan kebutuhan pebelajar seperti tingkat penguasaan bahasa, tingkat perkembangan pebelajar, tingkat motivasional dan ketertarikan, pengalaman dan latar belakang dan kebutuhan khusus pebelajar (Dick, et al, 2001: 151-153).  Desainer juga harus membuat keadaan pada saat tes sama dengan saat belajar. Item tes dan tugas harus realistis atau autentik.  Pebelajar juga harus diberi petunjuk sebelum menjawab soal.
6.    Mengembangkan strategi pembelajaran
Berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan sebelumnya, perancang program pembelajaran dapat menentukan strategi yang akan digunakan dalam pembelajaran.
Strategi yang digunakan disebut  strategi pembelajaran atau instructional strategy. Asal konsep strategi pembelajaran adalah the events of instruction yang digambarkan oleh Gagne dalam bukunya Condition of Learning.  Dick  and Carey mengelompokkan kegiatan itu dalam lima komponen yaitu: 1) aktivitas pra pembelajaran, 2) penyajian materi atau isi, 3) partisipasi pebelajar,  4) penilaian dan 5) aktifitas lanjutan (Dick, et al, 2001: 189).
Aktivitas pra pembelajaran dilakukan dengan memotivasi siswa, menginformasikan tujuan pembelajaran dan menginformasikan ketrampilan prasyarat pada pebelajar. Selanjutnya dilakukan penyajian materi.  Kegiatan ini bukan hanya untuk menjelaskan konsep konsep baru saja, tetapi juga menjelaskan hubungan antar konsep. Desainer juga memutuskan berapa jenis dan jumlah contoh yang akan diberikan untuk tiap tiap konsep.
Salah satu komponen yang paling kuat dalam proses pembelajaran adalah latihan dengan umpan balik. Desainer harus memberikan aktivitas yang relevan dengan tujuan disertai dengan umpan balik atau informasi tentang unjuk kerja mereka.  Sedangkan untuk kegiatan lanjutan, desainer meninjau lagi strategi secara keseluruhan untuk menentukan berhasilnya proses belajar.
7.    Mengembangkan dan memilih bahan ajar
Bahan ajar memuat isi yang akan digunakan pebelajar untuk  mencapai tujuan.  Termasuk didalamnya adalah tujuan khusus dan tujuan umum dan semua yang mendukung terjadinya proses belajar dalam diri pebelajar. Bahan ajar juga berisi informasi yang akan digunakan pebelajar untuk memandu kemajuan mereka selama pembelajaran.  Semua bahan ajar juga harus dilengkapi dengan tes obyektif atau pengukuran kemampuan pebelajar. Termasuk didalamnya adalah soal pre test dan post test.
Selain bahan ajar, diperlukan juga petunjuk penggunaan bagi pembelajar dan pebelajar  (Dick, et al, 2001: 245)
8.    Merancang dan mengembangkan evaluasi formatif
Tujuan dari evaluasi formatif adalah untuk mengumpulkan data yang terkait dengan kekuatan dan kelemahan pembelajaran. Hasil dari proses evaluasi formatif dapat digunakan sebagai masukan atau input untuk memperbaiki draf paket pembelajaran.  Meskipun tujuan utamanya adalah mendapat data dari pebelajar tetapi tinjauan dari orang lain yang juga ahli merupakan hal yang penting (Dick et al, 2001: 285)
Tiga jenis evaluasi formatif dapat diaplikasikan untuk mengembangkan produk atau program pembelajaran, yaitu :
·         Evaluasi perorangan
·         Evaluasi kelompok kecil
·         Evaluasi lapangan
Evaluasi perorangan merupakan tahap pertama dalam menerapkan evaluasi formatif. Evaluasi ini dilakukan melalui kontak langsung dengan minimal tiga orang calon pengguna program untuk memperoleh masukan tentang kesalahan kesalahan yang tampak dalam bahan ajar dan memperoleh petunjuk awal  daya guna bahan ajar dan reaksi pebelajar pada isi bahan ajar.  Untuk tahap ini dipilih satu orang pebelajar yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, satu orang berkemampuan sedang dan satu orang berkemampuan dibawah rata-rata.
Evaluasi kelompok kecil dilakukan dengan mengujicobakan program terhadap kelompok kecil calon pengguna. Evaluasi ini dilakukan  untuk menentukan efektivitas perubahan yang telah dibuat setelah evaluasi perorangan dan  mengidentifikasi masalah yang mungkin masih ada. Pada langkah ini, pebelajar bisa menggunakan bahan ajar tanpa interaksi langsung dengan pengembang.
Evaluasi lapangan adalah uji coba program terhadap sekelompok besar calon pengguna program sebelum program tersebut digunakan dalam situasi pembelajaran yang sesungguhnya.

9.    Melakukan revisi terhadap program pembelajaran
Langkah akhir dari proses desain pengembangan adalah melakukan revisi terhadap draf program pembelajaran. Data yang diperoleh dari prosedur evaluasi formatif dirangkum dan ditafsirkan untuk mengetahui kelemahan- kelemahan yang dimiliki oleh program pembelajaran. Evaluasi formatif tidak hanya dilakukan pada draf program pembelajaran saja, tetapi juga terhadap aspek-aspek desain sistem pembelajaran yang digunakan dalam program, seperti analisis pembelajaran, entry behavior, dan karakteristik siswa. Prosedur evaluasi formatif, dengan kata lain, perlu dilakukan pada semua aspek program pembelajaran dengan tujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas program tersebut.
10.    Merancang dan mengembangkan evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif merupakan jenis evaluasi yang berbeda dengan evaluasi formatif. Jenis evaluasi ini dianggap sebagai puncak dalam aktivitas model desain pembelajaran yang dikemukakan oleh Dick dan Carey. Evaluasi sumatif dilakukan dilakukan setelah program selesai dievaluasi secara formatif dan  direvisi sesuai dengan standar yang digunakan oleh perancang. Evaluasi sumatif tidak melibatkan perancang program, tetapi melibatkan penilai independen. Hal ini merupakan satu alasan untuk menyatakan bahwa evaluasi  sumatif tidak tergolong ke dalam proses desain sistem pembelajaran.
   Kesepuluh langkah desain yang dikemukakan di atas merupakan sebuah prosedur yang menggunakan pendekatan sistem dalam mendesain sebuah program pembelajaran. Setiap langkah dalam desain sistem pembelajaran ini memiliki keterkaitan satu sama lain. Output yang dihasilkan dari suatu langkah akan digunakan sebagai input bagi langkah-langkah selanjutnya.